Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nestapa Bagimu, Karunia Untukku

29 Agustus 2020   12:00 Diperbarui: 29 Agustus 2020   12:01 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2017 

Kutatap damai dari wajahnya yang tertidur pulas. Lengannya memeluk bayi mungil  kami yang juga terlelap. Senyum terlukis di wajahku. Dua manusia ini adalah harta berhargaku. Ingatanku melayang ke beberapa tahun silam saat harapan hampir kandas dan segala kemungkinan terhempas.

2011

Sebagai kontributor foto dari koran ekonomi, menghadiri acara peluncuran produk adalah rutinitas. Aku tengah mengutak-atik setelan kamera ketika sebuah tepukan di bahu membuatku mendongak.

"Ini Abdul dari media bisnis," ucap Mang Yusuf si pemilik tepukan.

Namun wajahnya bukan mengarah kepadaku, melainkan ke perempuan di sebelahnya.

Aku mengikuti pandangan Mang Yusuf.  Seorang perempuan muda. Ia tersenyum. Aku membalasnya dengan tatapan datar.

"Siapa, Mang?" bisikku ke Mang Yusuf.

"Kika. Anak job training di kantor mamang. Udah punya pacar," balas Mang Yusuf.

Aku menyenggol tangannya dan tertawa kecil. Siapa juga yang cari  pacar?

2012

Bapak sakit. Sebagai bungsu dan paling dekat dengannya,  keadaan ini jadi dilema. Tempatku bekerja akan mengangkatku menjadi wartawan tetap. Namun syaratnya adalah bersedia ditempatkan di Jakarta.

Di satu sisi, aku senang dengan tawaran itu. Aku akan memiliki pendapatan besar dengan fasilitas yang memadai. Di sisi lain, Bapak sakit. Aku tak tega meninggalkannya berdua dengan Ibu di Bandung. Kedua kakakku bekerja di luar pulau. Hanya akulah satu-satunya anak yang bisa leluasa merawat Bapak.

Dengan pertimbangan  itu, kuputuskan keluar dari pekerjaan dan mencari tempat baru. Syukurlah saat itu sebuah koran lokal membuka lowongan. Aku berhasil lolos. Meskipun sudah berpengalaman, statusku di tempat baru ini adalah wartawan percobaan selama enam bulan ke depan.

Sebenarnya aku sangat menggemari liputan di bidang olahraga. Namun sebagai wartawan percobaan, aku harus menerima dapat giliran liputan di bidang lain, termasuk musik dan hiburan. Aku kurang suka ingar bingar, sehingga dua bidang ini tak membuatku nyaman.

Namun kehadiran perempuan lincah dan supel itu membuat berbeda. Aku baru tahu kalau Kika sudah lulus kuliah. Kini ia jadi wartawan muda di media remaja yang  masih satu grup dengan mediaku. Berbagai acara hiburan lain jadi rajin kusambangi. Siapa tahu bisa kebetulan bareng Kika.

Semakin lama, aku merasa tertarik padanya. Aku suka sikapnya yang luwes, aktif, penuh rasa ingin tahu, dan berani. Bahkan ia juga mandiri. Sebagai wartawan baru, liputan sejauh apapun dijajal sendirian hanya bermodalkan angkot, ojek, dan peta digital. Aku jadi heran, lantas pacarnya punya peran apa?

Suatu hari, ia mengabarkanku mengenai perhelatan pameran mode.

Aku pun mengiyakan. Selain meliput, aku juga ingin bertemu Kika. Entah kenapa, ada dorongan dalam hati untuk tahu lebih banyak tentangnya. Aku tak tahu apa nama perasaan ini. Suka? Naksir? Cinta? Ah, kejauhan!

"Ingat, Abdul, dia udah punya pacar," ujarku pada diri sendiri.

Aku berangkat ke lokasi. Meliput bersiap menunggu fashion show di panggung utama.. Tetiba saja ada sosok yang kukenal. Kika! Tampil dalam balutan busana yang tak pernah kulihat selama ini. Kika jadi model! Segera kuarahkan kamera ke arah manapun ia melangkah. Aku nggak habis pikir. Perempuan yang sehari-hari berpenampilan cuek dan bertarung dengan debu jalanan, kini hadir dengan penampakan berbeda. Rupanya multi talenta juga.

Aku langsung meluncur kembali ke kantor. Mengurungkan niat berjumpa Kika. Aku punya rencana lain.

2013

Januari 

"Kang, saya perlu foto untuk ID baru di kantor. Boleh  minta difotoin? Akang lagi dimana? Saya samperin deh," Kika bertanya pagi itu di chat BBM.

Aku yang masih bermalasan tetiba langsung semangat untuk mandi.

"Boleh. Di ITB aja.  Kebetulan mau  liputan ke sana," jawabku membalas pesannya.

Kucari sesuatu di lemari. Sebuah foto ukuran kuarto berbingkai putih.  Di dalamnya ada kolase tiga pose Kika yang  kubidik berbulan-bulan lalu di pameran. Foto yang sejak lama ingin kuberikan, namun malu kulakukan. Akhirnya  hari ini kesampaian. Kubungkus foto itu dengan kertas kado.

Selesai memotret Kika, kuberikan bungkusan itu kepadanya.

"Saya lagi nggak ulang tahun," Kika bingung.

"Ini foto kamu. Aku iseng mencetaknya. Hehehe," jawabku.

Sejujurnya, aku paling anti ganggu hubungan orang lain. Sejauh ini,  perlakuan saat bertemu lawan jenis kuanggap sebagai perlakuan seorang kawan. Aku hanya senang membantu teman. Rekan-rekanku bilang, aku pemberi harapan palsu. Memang kuakui, ada beberapa perempuan yang intens mendekati. Padahal aku hanya menanggapi ala kadarnya. Sebenarnya niatku hanya memberi bantuan, namun kerap disalahartikan.

Namun Kika berbeda. Dia hanya mengontakku untuk urusan kerja. Anehnya, malah aku yang nyaman dan justru mengharapkan.

Oktober

Kika sudah bertunangan. Informasi ini kutahu dari obrolan para wartawan.

2014

Januari

Aku bersiap menuju mal menjemput Yanti, reporter di kantor, untuk liputan. Di saat yang sama, datang pesan dari Kika yang mau memberikan cinderamata dari komunitasnya. Sebelumnya aku memang pernah meliput acara komunitas Kika. Kuajak saja sekalian bertemu di mal.

"Kamu suka dia ya,  Dul?" tanya Yanti tertawa saat Kika pergi.

"Nggak baik kayak gitu, Yan. Dia udah tunangan."

"Kamu suka, kan?"

Aku tersenyum kecil.

"Kok muka kamu merah?"

Aku gugup.

"Kalau udah jalannya,  pasti barengan kok. Percaya sama saya."

Aku tak  menjawabnya. Kupendam  lagi perasaan ini. Cukup tahu diri untuk bisa memantaskan diri. Namun semakin kutepis malah semakin tak habis-habis. Apakah kuharus percaya ucapan Yanti?

Juni

Aku bertemu Kika lagi. Kali ini secara tak sengaja di pelataran masjid kantor. Aku mau salat, dia baru selesai.

"Eh, Kika. Kata teman-teman, mau pindah media ya?"

"Rencananya sih."

"Kok pindah? Biasanya ada aturan nggak boleh nikah selama dua tahun. Bukannya kamu  mau menikah?"

Kika tersenyum simpul dan menujukkan jari-jari tangannya.

"Maksudnya?"

"Aku batal kawin," jawabnya, "nggak ada cincin apapun di jariku. Btw, aku duluan ya."

Sepeninggal Kika, aku terpaku. Masih belum menyadari apa yang kudengar dari pertemuan sekilas tadi. Apakah ini yang namanya jawaban? Bertemu kesempatan baik di tempat baik pula. Jika memang ini  adalah kesempatan kedua yang Tuhan beri, aku akan memperjuangkannya sepenuh hati.

Hari-hari berikutnya, aku mencoba mengontak Kika. Iseng mengajak ngopi, ternyata dia mau. Di tempat itu, aku tak banyak omong. Justru dia yang sering bercerita. Dari urusan kerjaan hingga pertunangannya yang bubar. Dari wajahnya, tampak ekspresi patah hati mendalam yang bercampur dengan ketabahan dan ketegaran. Aku jadi semakin salut dengannya.

Sebagai lelaki, aku tak simpatik dengan mantan tunangan Kika yang memutuskannya tiga bulan menjelang pernikahan. Alasannya ngibul: Kika terlau mandiri. Namun sebagai orang yang menaruh rasa, aku jadi'bersyukur' atas keadaan ini.

Berbulan-bulan kemudian, komunikasi kami mulai  intens. Aku pernah mengutarakan perasaan kepada Kika. Aku mengatakan bahwa beberapa tahun ini aku memendam rasa. Namun respon Kika hanya tertawa. Ia hanya bilang ingin fokus membenahi hati.

2015

Februari

Kika cerita ada empat orang yang menyatakan keseriusan kepada dirinya. Meski ia bilang tak punya rasa, tetap saja aku terkesiap. Apakah ini petunjuk?

"Aku udah pernah ada di level tunangan. Jadi kalau ada yang ngajak pacaran, turun level dong."

Aku selalu mengingat kalimat Kika yang pernah diucapkannya saat itu.

Agustus

Kumantapkan keputusanku. Menceritakan kepada keluargaku tentang Kika. Tentang keseriusanku. Tentang upayaku memperjuangkannya. Kuajak mereka ke rumah Kika untuk bersilaturahim. Seminggu berikutnya, kuminta bertemu Kika seorang diri dan mengatakan, "Aku serius sama kamu,Ka.

Keesokan harinya, kudatangi rumah Kika sendirian dan mengutarakan semua kepada kedua orang tua Kika. Sejak itu, segala prosesnya seperti dimudahkan oleh-Nya. Kujaga ia dengan sama sekali tidak pernah menyentuhnya jika bertemu, termasuk tangan. Aku selalu menjaga jarak. Selalu begitu sedari dulu.

2016

Maret

Kami menikah. Menjalani suratan takdir yang telah ditetapkan 50 ribu tahun lalu dalam mitsaqan ghalizan. Terlalu cepatkah? Menurutku tidak. Masing-masing dari kami punya sejarah sendiri di masa lalu. Kalau memang ditakdirkan selalu bersama, kami akan bikin sejarah baru yang lebih bagus.

***

 Hanifa Paramitha

Naskah ini pernah saya sertakan sebagai materi Lomba Cerita Cinta Inspiratif 2020 oleh WR Academy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun