Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- MC, TV Host, VO Talent ----- Instagram: @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bosan Ditanya "Kapan Tambah Anak?", Intip 5 Jawaban Berikut!

29 Mei 2020   20:59 Diperbarui: 29 Mei 2020   20:53 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: businessinsider.com

Ada keluarga (maaf) tidak mampu tapi memiliki tujuh anak yang semuanya hanya mampu disekolahkan sampai SD. Bahkan ada yang anaknya nggak mau beresin sekolah. Dia mentok sampai kelas 5 SD. Alhasil karena nggak punya kegiatan, kerjaan anak-anaknya sekedar  makan dan main layangan.

Ada lagi yang  kerja suaminya serabutan, tapi nambah anak melulu sampai sang anak sulung harus rela sekolahnya nggak berlanjut karena anggaran yang ada terpakai untuk biaya adik bayinya yang keempat.

Ada juga pasangan muda lulusan SMP dan SMA yang menikah dan langsung memutuskan punya anak. Padahal mental sang ibu masih belum matang dan gabungan penghasilan keduanya pun hanya mampu untuk menyewa satu kamar kost berukuran 5 meter persegi. Akhirnya sang orok yang baru berusia tiga bulan itu dititipkan kepada orang taunya di kampung.

Belum lagi sebuah keluarga kecil yang bertahun-tahun sejak menikah hidup dalam satu kamar kost. Bapak, ibu, dan dua anak lelaki (usia SMP dan usia SD). Anehnya hal itu nggak menyurutkan kehendak kemungkinan untuk punya lagi karena sang ayah yang berprofesi sebagai juru parkir itu ingin punya anak perempuan. Plis atuh, euy!

Lihat Dari Sisi Lain

Ya, saya menyadari di luar sana ada jutaan orang tua yang masih berharap dan terus berusaha memiliki keturunan. Tak terhitung pula jumlah biaya yang telah dikeluarkan demi hadirnya sesosok momongan yang amat dinantikan. Belum lagi lelehan air mata yang terus mengalir dalam setiap permohonan doa.

Namun seyogyanya juga kita harus adil melihat dari sisi lain yakni para orang tua yang sudah merasa cukup untuk punya anak sekali  saja. Bukan tidak bersyukur ya, kami hanya berusaha realistis dan berupaya menghadirkan kehidupan yang berkualitas untuk anak kami.

Sering kali para komentator nggak tahu (dan bahkan nggak pernah mau tahu) pengalaman apa saja yang terjadi selama  masa kehamilan, melahirkan, nifas, dan menyusui dari orang yang dikomentarinya. Tidak semua pengalaman itu mengesankan, lur! Bahkan beberapa fase di antaranya harus melewati masa trauma, sehingga keengganan memiliki anak lagi adalah hal yang sangat logis.

Saya heran kok masih saja ada sejumlah orang yang merasa berkepentingan mengatur jalannya kehidupan sebuah keluarga. Padahal saya dan suami selow bae urusan beginian. Malahan orang tua dan mertua saya juga nggak pernah ngebahas. Beliau semua sungguh toleran dan membebaskan jumlah cucu yang diproduksi oleh anak-anaknya. Bagi mereka, punya cucu sehat, soleh, dan cerdas aja udah menyenangkan, terlepas dari banyak atau sedikitnya.

Lima Jawaban Pembungkam

Nah buat kalian yang  mengalami nasib serupa, berikut  saya kasih alternatif jawaban untuk membungkam nyinyiran keluarga, tetangga, dan handai taulan penganut kepoisme urusan produksi anak. Setidaknya ini bisa jadi argumen logis untuk menangkis ujaran asal nyeplos dari kaum menyebalkan yang tak sanggup berpikir komprehensif. Stop suruh kami tambah anak ya!

  1. "Dunia ini udah kebanyakan orang". Jadi daripada nambahin beban bumi, kenapa nggak bikin yang udah ada jadi lebih berkualitas. Emang kenapa kalo  cuma punya satu anak? Hiji oge maung!
  2. "Inflasi tiap tahun semakin tinggi termasuk biaya pendidikan". Sebuah platform literasi keuangan independen bilang kalau biaya pendidikan naik 20 persen setiap tahun. Olala.. kapan ya penghasilan semua orang tua juga ikutan naik  20 persen kayak  gitu. Hmm..
  3. "Lahan semakin sempit". Lahan pemakaman aja semakin sedikit, apalagi untuk rumah tinggal, ya kan. Kelak ketika anak-anak sudah besar nanti kemudian berkembang biak beranak cucu, lantas lahan persawahan, perkebunan, dan perbukitan mana lagi yang mesti dibabat untuk dibikin jadi permukiman?
  4. "Sampah pospak makin menggunung di lautan". Riset Bank Dunia pada tahun 2017 bilang kalau sampah popok sekali pakai itu menyumbang 21 persen sampah di lautan bahkan jadi peringkat kedua sampah terbanyak! Silakan googling kalau nggak percaya.
  5. "Kami orang tuanya memang nggak mau, kenapa tetap maksa deh?". Mungkin memang beginilah hidup. Kita yang jalanin, orang lain yang sibuk komentarin. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun