Manusia memang nggak pernah luput dari yang namanya pertanyaan. Baik itu ditanya maupun bertanya. Nah momen saling tanya ini biasanya terjadi saban hari raya saat semua anggota keluarga besar berkumpul. Tetiba aja tante, om, atau sepupu yang nggak pernah ketemu mendadak kepo dan merasa harus ngasih wejangan tertentu. Ya mending saja kalau berfaedah, tapi kalau nanya itu-itu lagi ya bosan juga toh.
Saya pikir predikat sebagai ibu dari satu orang anak balita kayak saya gini bakal terhindar dari pertanyaan klasik seperti "kapan kawin?" hingga "kapan punya anak?". Ternyata semua itu hanya khayalan. Rupanya meskipun sudah menyandang status sebagai istri dan ibu, masih ada pernyataan dan pertanyaan susulan yang  bikin saya bosan setiap tahun, yaitu:
"Kapan dikasih adik? Kasihan biar nggak kesepian";
"Lho kok anaknya cuma satu sih?"
"Anaknya udah gede gitu, udah pantes nih  kamu hamil lagi";
"Nambah anak jangan ditunda-tunda, mumpung umur masih  muda";
"Banyak anak banyak rezeki lho";
dll dst dsb yang intinya adalah "Kapan punya anak...LAGI?"
Oke gini lho. Andaikan  mereka paham bahwa beranak bukan sekadar making love, hamil, lalu lahirlah si jabang bayi imut, montok, lucu, dan menggemaskan.  Tidakkah mereka berpikir bahwa setiap keluarga punya peta hidupnya masing-masing? Apa jadinya jika kita terus bereproduksi dengan tidak diimbangi perencanaan matang? Bukankah perlakuan itu sama  saja dengan menzalimi makhluk-Nya?
Efek Punya Anak Tanpa Rencana
Perkara punya anak tuh bukan tentang "gimana nanti", melainkan "nanti gimana". Betapa banyak sekali saya saksikan di lingkungan sekitar tentang efek beranak tanpa perencanaan. Rerata hasilnya adalah yaa anaknya hanya asal hidup doang. Waduh padahal ini kan anak manusia, bukan anak ayam.