Di akhir kepemimpinan Presiden SBY dan sebelum mengakhiri tugasnya sebagai Menteri Perhubungan (Menhub), E.E. Mangindaan mengeluarkan Peraturan Menhub Nomor: PM 51 Tahun 2014 tanggal 30 September 2014 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penerbangan Berjadwal Dalam Negeri. Salah satu isi dari PM 51 Tahun 2014 tsb menyatakan bahwa "Maskapai dalam menetapkan Tarif Normal Lebih Kecil dari 50% dari Tarif Batas Atas wajib mendapatkan persetujuan Direktur Jenderal Perhubungan Udara (Dirjen Hubud)". Artinya bahwa maskapai penerbangan dalam negeri dapat menetapkan harga jual dan menjual tiketnya pada tarif normal terendah sampai dengan 50% dari Tarif Batas Atas atau TBA. Tarif normal terendah seringkali disebut sebagai Tarif Batas Bawah atau TBB. Oleh karena istilah TBB tsb memang tidak ada dalam Undang-Undang Penerbangan, yang ada hanya TBA.
Kurang dari 2 bulan kemudian, Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang dipimpin oleh Menhub Ignasius Jonan merevisi PM 51 Tahun 2014 yang dibuat oleh Menhub Mangindaan tsb dengan dikeluarkannya Peraturan Menhub Nomor: PM 59 Tahun 2014 tanggal 19 November 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menhub Nomor: PM 51 Tahun 2014. Inti dari PM 59 Tahun 2014 ini menyatakan bahwa "Maskapai dalam menetapkan Tarif Normal Lebih Kecil dari 30% dari Tarif Batas Atas wajib mendapatkan persetujuan Dirjen Hubud". Artinya bahwa maskapai penerbangan dalam negeri dapat menetapkan harga jual dan menjual tiketnya pada tarif normal terendah atau TBB sampai dengan 30% dari TBA. Bila maskapai ingin menjual TBB lebih kecil dari 30% dari TBA terlebih dahulu wajib disetujui oleh Dirjen Hubud.
Sebulan kemudian pada tanggal 30 Desember 2014, atau dua hari setelah peristiwa hilangnya pesawat Indonesia Air Asia QZ8501, Menhub Jonan kembali melakukan revisi aturan TBB tsb menjadi 40% dari TBA. Menjadi perhatian dan pertanyaan dari banyak pihak termasuk para pemangku kepentingan (stakeholders), mengapa dalam kurun waktu 2 bulan Menhub sampai 2 kali merevisi TBB? Padahal kondisi ekonomi makro pada bulan November dan akhir bulan Desember 2014 tidak terlalu signifikan perbedaannya.
Bila kita melihat keputusan Menhub pada revisi pertama TBB sebesar 30% dari TBA, tampak terlihat jelas bahwa Pemerintahan Presiden Jokowi melalui Menhub Jonan sangat mendukung adanya tiket penerbangan yang dijual dengan harga murah oleh maskapai hingga 30% dari TBA. Dengan kata lain Menhub pun mendukung penuh pertumbuhan dan perkembangan dari maskapai penerbangan berbasis biaya operasi rendah (low cost carrier atau LCC) yang sering menjual tiket penerbangannya dengan harga murah (low fare).
Namun dua hari setelah kejadian hilangnya pesawat Airbus A320 registrasi PK-AXC milik maskapai Indonesia Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501, Menhub Jonan kembali melakukan revisi aturan TBB tsb dengan menaikkannya dari 30% menjadi 40% dari TBA. Melihat kenyataan bahwa kondisi ekonomi makro di Indonesia dalam bulan November dan Desember 2014 yang tidak terlalu signifikan berbeda, tampaknya keputusan Menhub untuk merevisi TBB yang kedua kali tsb berkaitan langsung dengan kejadian hilangnya pesawat QZ8501.
Untuk menjawab pertanyaan dalam judul tulisan saya ini, berdasarkan fakta-fakta yang saya sebutkan diatas kemudian saya menganalisa hubungan sebab akibat dari kejadian 2 kali revisi TBB tsb dan akhirnya saya menyimpulkan, antara lain:
1. Menhub Jonan terlalu terburu-buru melakukan revisi pertama terhadap TBB dari 50% menjadi 30% dari TBA. Seharusnya Menhub Jonan bertanya dan berdiskusi terlebih dahulu dengan mantan Menhub sebelumnya dan juga dengan para stafnya di Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) mengenai latar belakang dari penetapan angka 50% tsb.
2. Penurunan drastis TBB dari 50% menjadi 30% dari TBA tsb tentunya akan memberi angin segar dan ruang gerak yang lebih leluasa bagi maskapai penerbangan dalam negeri dalam menjual tiketnya dengan harga terendah, khususnya dalam musim sepi penumpang atau low seasons. Perubahan TBA secara drastis ini juga menguntungkan bagi maskapai penerbangan berbasis biaya operasi rendah atau low cost carriers (LCC) yang selalu menawarkan harga tiket yang murah kepada para konsumen.
3. Dua hari pasca kejadian hilangnya pesawat Indonesia Air Asia QZ8501, Menhub Jonan kemudian melakukan revisi kedua dari TBB tsb dengan menaikkannya dari 30% menjadi 40% dari TBA. Revisi kedua dari TBB yang dilakukan secara mendadak oleh Menhub Jonan tampaknya bertujuan untuk memperbaiki "kesalahan" dalam revisi pertama yang kesannya terburu-buru dan tanpa pertimbangan matang. Revisi kedua ini juga tampaknya dilakukan Menhub Jonan bertujuan untuk "menutupi" adanya persetujuan pemerintah dalam hal ini Kemenhub terhadap penjualan tiket penerbangan dengan harga murah dan dukungan penuh pemerintah kepada maskapai LCC.
4. Hilangnya pesawat Airbus A320 Registrasi PK-AXC milik Indonesia Air Asia, yang merupakan salah satu maskapai LCC di Indonesia secara psikologis akan menimbulkan kesan dibenak para konsumen penerbangan bahwa "harga tiket murah identik dengan tingkat keamanan dan keselamatan yang rendah". Apalagi bila konsumen penerbangan di Indonesia mengingat kembali kejadian hilangnya pesawat Boeing 737-400 milik maskapai Adam Air nomor penerbangan KI-574 yang jatuh di perairan Majene, Selat Makassar pada tanggal 1 Januari 2007 dan menewaskan seluruh penumpang (96 orang) dan awak pesawat (6 orang).
5. Pemerintah dalam hal ini Kemenhub tidak ingin "dipersalahkan" dalam kejadian hilangnya pesawat Airbus A320 Registrasi PK-AXC milik Indonesia Air Asia yang dikenal sebagai "maskapai penjual tiket murah". Karena masyarakat secara umum dan secara khusus konsumen penerbangan akan langsung menyalahkan Kemenhub yang mengijinkan maskapai LCC beroperasi namun Kemenhub sebagai "Regulator" tidak menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian dengan baik dan optimal sehingga terjadi musibah pesawat hilang.