“Bumi harus bersih, langit harus suci. Menggebrak jagat, menggoreng setan dengan topan, badai dan banjir. Mencuci langit, menggusah siluman dengan geledek dan cakar petir. Dewa-Dewi pemilik semesta, Penguasa abadi alam raya. Tahta langit tabu dibantah, mahluk bumi cuma debu semata”.
“Ada lima jalan utama agar jauh dari sengsara dan bisa membuka surga. Satu, cintailah sesama. Junjung tinggi kebenaran. Wajib punya kesusilaan. Yang ke-empat, bijaksana. Dan lima dapat dipercaya. Waspada kepada siluman yang cuma punya benci. Memainkan inti kekuatan intrik-intrik kuasa politik. Bumi harus bersih, langit harus suci. Dan Tahta Dewa-Dewi selamanya abadi!!!”
Itulah lirik lagu ciptaan N. Riantiarno yang ditampilkan oleh Teater Koma dalam pementasan “Opera Ular Putih” pada tanggal 3-19 April 2015 di Graha Bhakti Budaya, Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM). Sebelumnya Teater Koma pernah menampilkan pementasan “Opera Ular Putih” pada tanggal 23 April hingga 8 Mei 1994 di tempat yang sama. Pementasan “Opera Ular Putih” yang merupakan produksi ke-139 dari Teater Koma ini didukung oleh sekitar 150 seniman yang bekerja sebagai aktor, aktris dan kreator belakang panggung.
Puji syukur kepada Tuhan atas kebaikan seorang sahabat, saya pun berkesempatan untuk datang, duduk dan menikmati pementasan “Opera Ular Putih” sebagai undangan pada hari Kamis, 16 April 2015 jam 19.30 WIB. Meskipun saya bersama sahabat saya memasuki gedung pertunjukan agak terlambat, dikarenakan jalanan yang macet malam itu, namun kami menikmati pementasan opera ini sampai dengan selesainya sekitar jam 23.30 WIB. Inilah pertama kali diri saya menonton pementasan opera dari Teater Koma dan pertunjukan opera di Indonesia.
Asal-usul kisah Puteri Siluman Ular Putih ini kurang begitu jelas, tetapi menilik ciri-ciri kebudhaannya, rupanya kisah ini baru berkembang di Cina ketika agama Budha telah masuk dan dianut di negeri itu, yaitu pada zaman Dinasti T’ang yang kedua (618-906). Sementara Sinolog menyebutkan kisah Puteri Ular Putih ini sebagai cerita rakyat, artinya termasuk sastra lisan. “Pai Sheh Chuan” (Kisah Ular Putih) dan sejak itu lahirlah berbagai versi sastra tulis di sekitar cerita ini.
Kisah Ular Putih ini bermula dari peristiwa Ular Putih yang telah menyelesaikan pertapaannya selama 1700 tahun, kemudian mampu berubah wujud menjadi manusia. Dia memang tidak ingin terus-terusan jadi siluman. Dia ingin merasakan suka-duka kehidupan sebagai manusia seutuhnya. Keinginan Ular Putih awalnya ditentang oleh sang adik, Ular Hijau. Tapi akhirnya mereka berubah menjadi manusia. Ular Putih memakai nama Tinio. Ular Hijau diberi nama Siocing.
Tinio pun menikahi seorang manusia bernama Hanbun. Berdua, suami istri itu termasyur sebagai tabib yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit aneh. Sayangnya para pembasmi siluman, penerima mandat dari Langit, datang mengobrak-abrik kebahagiaan pasangan suami istri, Tinio dan Hanbun. Pendeta Bahai dan muridnya, Peramal Gowi tetap menganggap Tinio dan Siocing sebagai siluman. Mereka tidak peduli pada segala kebaikan yang telah dilakukan oleh Tinio.
Alur pokok kisah Ular Putih ini sangat terbuka bagi berbagai penafsiran makna. Semisal, manakah yang penting dalam hidup ini, apakah menjalankan praktek hidup yang baik, yang manusiawi, yang siap berkorban bagi mereka yang membutuhkan uluran tangannya, atau status si pelaku itu dalam pandangan suatu lembaga, baik agama, sosial, politik? Haruskah “orang baik yang amat manusiawi” itu dibinasakan hanya karena ia “tidak baik” dalam ukuran kelembagaan?
Para dewa berkuasa penuh. Ketika para dewa membuat aturan dan kemudian melanggarnya sendiri, manusia hanya bisa patuh. Para dewa bahkan sudah memberikan petunjuk, mengenai siapa saja yang dianggap manusia dan siapa saja yang dianggap siluman. Bagaimanakah kalau ternyata kita yang dicap sebagai siluman? Apakah kita akan menerimanya begitu saja? Apakah pada akhirnya, peraturan menjadi jauh lebih penting dibanding hati nurani?
Apakah cap siluman memang tidak bisa dibasuh dengan air jenis apapun? Apakah segala kebaikan yang dilakukan oleh mereka, yang dianggap jahat, juga akan dikutuk sebagai kejahatan? Mampukah mata hati kita membedakan mana manusia dan mana siluman? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh masing-masing penonton yang hadir dalam pementasan “Opera Ular Putih” yang begitu relevan dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi di bumi Indonesia saat ini.
Pementasaan “Opera Ular Putih” oleh Teater Koma ini sarat dengan pesan-pesan moral dan kritik-kritik sosial baik melalui peran seorang dalang yang bernama Ki Budi, yang mengatakan: “Belum tentu semua yang bernama Budi itu Berbudi”, ataupun melalui ke-14 lagu yang dinyanyikan selama pertunjukan. Judul lagu-lagu itu pun penuh makna, selain lagu “Bumi harus bersih” (seperti tertulis diawal tulisan ini), ada pula lagu “Nyanyian Kaum Melata”, “Takdir Manusia”, “Seperti Manusia”, “Perdamaian”, “Nyanyian Musim Panas”, “Perahu Nasib”, “Nyanyian Pesta Topeng”, “Mata Naga”, “Nasib Manusia”, “Roda Nasib”, dan “Nyanyian Sudut Pandang”, “Nyanyian Musim Semi”, dan “Jantung Batu”.