Dari Sabang sampai Merauke membentang pulau-pulau yang yang di dalamnya terdapat kebudayaan yang dianut oleh setiap masyarakat yang tinggal di sana. Begitu banyak kebudayaan yang ada di Indonesia, baik yang sudah ataupun yang belum kita jumpai.
Bagaimana dengan jumlah kalkulasi seluruh kebudayaan yang ada di dunia tidak berujung ini. Saya tidak bisa membayangkan, jumlah kebudayaan yang sangat-amat banyak.Â
Sayang sekali, semua itu pasti akan membuat kita pusing. Namun, di saat yang sama akan membuat kita terkesima karena dari jumlah kebudayaan yang fantatis itu, semua memiliki nilai, sejarah, arti, manfaat, tujuan, dan ciri khas yang berbeda-beda.
Hal itu membuat jumlah perbedaan budaya yang ada sama seperti pasir di pantai.
Permasalahan akan muncul sebagai akibat dari perbedaan yang saling bersinggungan tidak ditanggapi dengan bijaksana. Kemudian berbagai bentuk upaya dilakukan untuk menyelaraskan perbedaan.Â
Mayoritas akan mengintimidasi minoritas. Praktik hegemoni dikembangkan atas nama keseragaman. Adalah hal yang mengerikan apabila suatu kebudayaan harus dimakamkan demi keberlangsungan hidup kebudayaan yang lainnya.
Kajian Budaya sebagai Dasar Pemahaman
Berangkat dari berbagai penindasan, pemusnahan, dan hegemoni atas suatu budaya, kajian budaya (cultural studies) lahir untuk memerangi hegemoni.Â
Kajian budaya tidak menuntut keselarasan, namun membangun pemahaman bahwa setiap individu layak mendapatkan hormat dan kesetaraan dengan keunikan atau budaya yang dimiliki. Sebab,
dalam perspektif cultural studies, setiap budaya bagaimanapun adalah sumber keaneragaman hayati-aset dunia yang sangat berharga, dan harus dihormati (Astuti, 2003).
Lahir di tengah-tengah semangat Neo-Marxisme, kajian budaya layaknya guide, memberikan kita arah membangun pemahaman bahwa tidak ada yang salah dari setiap budaya yang ada di dunia.Â
Setiap orang berhak dan harus dihormati atas setiap keunikan budaya yang dimilikinya. Â Agar kemudian tidak terjadi dominasi atau hegemoni atas suatu budaya.