Saya sudah jarang menemukan rasa dalam tulisan saya. Banyak dari tulisan tersebut hambar dan asal jadi. Saya tidak melihat emosi tertuang secara penuh dalam setiap baris kalimat yang disusun rapi. Pun, emosi dari satu kalimat ke kalimat lain terbaca acak dan tidak harmonis. Ide dalam setiap paragraf sangat dingin dan tidak matang.Â
Saya memang sedang takut untuk mengumbar semua kata yang ada dalam kepala dan memilih untuk menutupi beberapa emosi yang terlalu menonjol. Alih-alih menulis untuk mengeluarkan semua emosi, saya terpaku pada emosi apa yang akan didapatkan si pembaca. Saya takut tulisan ini memiliki kemungkinan menyakiti orang lain. Kondisi ini berlangsung karena dua tahun lalu seorang teman membombardir saya dengan pertanyaan, yang jawabanya sudah ada di kepalanya.
Sebenarnya, dia bukan teman dekat dan tidak juga jauh. Ada beberapa kondisi yang memungkinkan saya untuk berinteraksi dengan dia. Saya menyadari dia merupakan pembaca aktif setelah sering memberikan pendapat, yang lebih tepatnya memberikan nilai terhadap tulisan saya. Udah kayak ujian dengan dia aje, pake dinilai segala ini tulisan.Â
Terkadang saya merasa risih, tapi saya tidak terlalu ambil pusing karena memang tulisan saya tidak ditujukan untuk menyinggung siapapun. Saya tipe orang yang menulis tulisan yang kesemuannya berpusat tentang diri sendiri. Barangkali kacamatanya terlalu tajam, sampai dia bisa merasa beberapa tulisan ditujukan untuk dia, yang sedari awal pun tidak pernah saya pedulikan. Lucunya, semenjak kejadian itu, saya menjadi takut untuk merangkai emosi saya dalam tulisan. Saya khawatir kata yang saya rangkai itu bisa jadi menyakiti perasaan orang lain.
Setiap satu Januari, saya memang selalu membuat list apa saja yang ingin diraih dalam per bulan. Di Februari, saya ingin menuliskan 27 tulisan untuk ulang tahun saya ke-27. Saya ingin ketika saya berusia 28, 29, ... tulisan ini bisa saya baca ulang sebagai pengingat bahwa saya pernah sangat kuat dalam menghadapi berbagai cobaan hidup di usia 26 tahun. Saya memang berencana menuliskan satu cerita dalam satu hari. Sebelumnya, saya sudah menyimpan sekitar 10 tulisan dan 5 draft untuk dibagikan per harinya, jadi saya punya waktu untuk melompat dari satu tulisan ke tulisan lain dengan tidak terburu-buru. Semakin saya membaca tulisan saya, semakin saya mendapat kesan bahwa saya tidak benar-benar mengeluarkan emosi dalam setiap baris kalimatnya. Saya terkesan takut untuk memberikan warna yang sebenarnya. Saya takut, ah jangan-jangan ini akan menyinggung perasaan seseorang. Jangan yang ini deh, nanti takut disalah artikan.Kadang saya harus merevisi seluruh tulisan yang sebenarnya tidak memiliki maksud tertentu, hanya karena takut akan membuat dia tertekan, entah karena apa.
Kadang saya merasa betapa egoisnya kebanyakan orang. Mereka memakai kacamata mereka dalam menilai sebuah karya, kemudian menyimpulkan rasa, yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan dirinya. Awal semula semua kata itu netral, pikiran kotor membuatnya menjadi kotor, dan begitupun sebaliknya. Mereka mengungkapkan perasaan mereka tanpa peduli bagaimana perasaan si penerima. Dengan tidak tahu malu mengoyak keberanian dan meruntuhkan semangat. Saya merupakan pribadi yang siap menerima segala kritik, namun harus membangun. Sebisa mungkin saya terbuka dengan masukan yang ditujukan untuk memperbaiki kualitas diri. Pendapat yang tidak mendasar dan menyerempet ke arah perasaan seharusnya itu merupakan urusan pembaca, bukan malah dijadikan bahan untuk sok tau. Terkadang beberapa orang bertanya hanya untuk memastikan, bukan untuk menemukan jawaban. Jadi apapun yang saya katakan udah kayak buih, hilang aja gitu, karena sebenarnya dia sudah punya jawaban sendiri di kepalanya.
Sebenarnya, saya bisa saja mengabaikan dan secara murni memasukkan semua perasaan saya dalam tulisan, tapi saya bukan orang demikian. Saya memilih untuk berdamai dengan emosi, sebisa mungkin untuk tidak menyakiti orang lain. Sebisa mungkin tidak menyinggung perasaan orang lain. Tapi susah ya, kalau sedari awal tidak suka, apapun yang kita lakukan akan selalu salah. Alih-alih menjadi korban, sebenarnya dia merupakan pelaku utama. Bahasa lainnya serigala berbulu domba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H