Mohon tunggu...
Hotmian Simalango
Hotmian Simalango Mohon Tunggu... Guru - I am His

Saya suka mendengarkan lagu Taylor Swift, menonton film romantis dan membaca comic romance

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nama Episode Enam

29 Januari 2021   16:38 Diperbarui: 29 Januari 2021   17:11 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiga tahun lalu, saya merantau ke Jakarta tanpa diketahui oleh orangtua. Saya berangkat sendirian dengan jumlah uang yang sangat terbatas di tangan saya. 

Saya tidak punya saudara jauh atau dekat yang bisa ditemui di sini. Saya hanya modal nekat aja demi membantu adik saya yang sedang dalam kondisi tertentu saat itu. 

Saya memang pribadi yang berani mengambil keputusan besar dan penuh resiko. Banyak keputusan besar yang membuat saya mengalami banyak kesulitan, namun membentuk saya menjadi pribadi yang kuat dan tahan banting. Inilah yang membuat saya menyadari bahwa nama Hotmian bisa jadi cocok, karena saya berani dan tahan banting diberbagai medan.

Juli 2018, saya sampai di Jakarta. Saya menyewa sebuah rumah kontrakan baru bersama seorang teman dengan uang pinjaman dari teman di Jambi. Saya mendapatkan pekerjaan 1 minggu setelah saya sampai di Jakarta. Saya memang cukup beruntung saat itu, saya langsung dapat kerjaan tanpa menunggu terlalu lama. 

Jarak rumah dan tempat kerja cukup jauh, saya menggunakan angkutan umum agar lebih irit. Di kampung, tidak ada transportasi seperti ini, saya gugup karena akan berangkat sendirian untuk pertama kali, tapi tetap cari informasi otodidak dari Mbah Google dan selalu bertanya pada petugas. Setiap pukul 4.50 pagi, saya sudah naik ojol (ojek online) ke halte. 

Dari halte dekat rumah saya ke Harmoni, kemudian berangkat ke daerah di Jakarta Utara. Setelah satu minggu bekerja, saya mengajukan berhenti karena mendapatkan pekerjaan yang jaraknya dekat dengan rumah kontrakan. Saya juga menjelaskan keadaan saya yang sebenarnya pada Ibu kepala hrd saat itu, dan bahkan dia menawarkan bantuan untuk saya karena iba. 

Jelas saja saya menolak, saya tidak suka dikasihani dan juga was-was dan takut menerima bantuan dari orang baru. Beruntungnya, meskipun saya keluar setelah seminggu mengajar dan belum tanda tangan kontrak, namun entah darimana mereka mengirimkan gaji saya mengajar. 

Saat menerima email slip gaji tersebut, saya berikhtiar dalam hati, jika keuangan saya sudah membaik, saya akan mengirimkan makanan ke sekolah tersebut. Bantuan tidak terduga tersebut membuat hati saya hangat saat menerimanya, makanya saya tidak pernah lupa sekolah tersebut.

Sebelum saya keluar dari sekolah tersebut, saya sudah mendapatkan pekerjaan di Jakarta Barat. Sekolah Katolik yang dekat dengan rumah, saya hanya perlu jalan kaki. 

Saya mulai mengajar pada dua jenjang yaitu TK dan P1 sebagai guru bridging. Di sekolah inilah, saya benar-benar dicobai, saya merasa kesulitan bernafas karena sesak dengan tekanan. 

Saya dibuat terkejut dengan lingkungan kerja tidak sehat di Jakarta, terutama di sekolah ini. Pertama kalinya dalam hidup saya, saya benar-benar ingin mati karena tidak tahan dengan tekanan dari rekan kerja dan atasan. 

Pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa seperti tidak ada jalan keluar. Saya tertekan luar biasa secara mental dan fisik. Saya kebingungan membedakan mana yang harus dan tidak, mana yang benar dan salah. Semuanya serba salah, saya merasa terpojok dan tersiksa secara mental.

Rekan kerja saya mengintimidasi, merendahkan, dan membenci saya. Saya tidak tahu mengapa dia demikian, awalnya saya berpikir saya ini terlalu sensitif, mungkin karena saya dari daerah jadi pikiran saya terlalu sempit. 

Saya mencoba untuk proaktif bertanya apa dan bagaimana, serta meminta maaf jika (tidak) salah. Saya berusaha keras untuk berbaik sangka terhadap segala perlakuan yang saya terima. 

Pada berbagai kesempatan, saya mencoba untuk dekat dengan mengobrol hal lucu seputar anak-anak, namun kemudian ditanggapi sebagai obrolan yang melecehkan anak murid, padahal niat saya hanya mau mencairkan suasana saja. 

Di kesempatan lain, saya secara aktif mengerjakan sesuatu dengan cepat, merapikan kursi meja, dan menyiapkan anak, saya mengerjakan semuanya untuk meringankan beban kerja rekan saya, namun kemudian saya dianggap terlalu dominan. 

Saya suka tenggelam dalam pikiran saya yang gelap dan dalam, ini yang membuat saya takut. Secara terus menerus, saya memaksa diri untuk harus berpikiran positif dengan mudah terprovokasi oleh situasi yang dingin dan kurang menyenangkan.

Kondisi demikian tidak berlangsung lama, seorang teman mendengarkan percakapan rekan saya dan guru senior yang keseluruhan isinya adalah tentang saya. Dia mengatakan saya terlalu dominan, bekerja sangat lambat, dan berbagai hal lainya. 

Saya terkejut mendengar hal tersebut, hemat saya seharusnya rekan kerja tersebut langsung saja menyampaikan concernnya kepada saya. Bagi saya, tidak masalah apabila dikritik agar saya bisa selalu mengevaluasi kinerja saya menjadi lebih baik, saya tipe orang terbuka dan siap dengan masukan (yang masuk akal). 

Saya mau belajar dan siap untuk diajar. Pikiran saya menciptakan berbagai kemungkinan, salah satunya adalah mungkin dia tidak mau untuk berdiskusi tentang pekerjaan secara pribadi dengan saya. 

Saya bukan tipe orang yang suka basa basi atau membuat scene hanya karena orang lain menceritakan saya dibelakang. Saya lebih suka menemukan dan membuat solusi daripada ngomong ini itu tidak jelas arah. Maka, saya memberitahukan permasalahan ini pada hrd yang bertugas mengurus dan mengevaluasi kinerja guru. 

Saya ingin dibuatkan pertemuan secara tertutup antara saya, rekan kerja tersebut, dan hrd sebagai mediator. Alih-alih mendapatkan respon positif, saya malah dicap tidak sopan dan kasar. Saya semakin bingung dengan adab bekerja di sekolah tersebut dan parahnya permasalahan semakin runcing dan citra saya jadi buruk.

Kalau saya bercerita ini barangkali pembaca berpikir ini adalah adegan di film, tapi ini kisah benar nyata, saya bersumpah! Ketika saya sedang BAK di toilet segerombolan guru masuk dan ngerumpi tentang saya. 

Mereka tertawa dan menceritakan betapa menjijikkan perilaku saya. Saya mendengar dan merekam (di dalam pikiran) setiap kata yang mereka ucapkan tentang saya. Setelah mereka bosan, mereka menggedor pintu toilet dan bertanya mengapa orang di dalam lama sekali karena mereka mengantri ingin masuk. 

Saya tidak mau keluar, karena saya malu dan takut melihat mereka. Mereka terus saya menggendor tanpa tahu bahwa saya yang ada di dalam, sampai akhirnya saya buka pintunya. Mereka terkejut dan saya berlari karena saya takut. Sungguh terdengar seperti scene pada drama tapi  itu benar terjadi.

Tangan saya gemetaran, rasanya saya mau mati aja hari itu, dan saya memang mencoba untuk melakukannya beberapa kali. Segera setelah pertemuan itu, mereka malah tertawa setiap kali melihat saya, mereka melihat saya seperti orang bodoh. Itu adalah hari terburuk dalam hidup saya. Saya ketakutan setiap kali ke sekolah, tapi saya harus. 

Saya terkejut menyadari bahwa ada manusia yang tidak bertingkah/berperilaku layaknya manusia. Kan kalau manusia menyakiti orang lain sengaja/tidak dia akan merasa malu atas perbuatannya, tapi tidak dengan mereka. 

Padahal saya bekerja di sekolah yang kami selalu berdoa, tapi agaknya keberadaan Tuhan hanya sebagai pemanis agar sekolah ini terlihat seperti sekolah berTuhan. Panggilan telepon dari adik saya lah yang membuat saya tersadar bahwa saya harus tetap hidup dan bekerja, karena adik saya butuh saya.

Saya sangat kuat ya. Ya, Hotmian memang dimaksudkan untuk tujuan demikian. Terlepas dari kebenaran saya melakukan kesalahan atau tidak, memang tidak sepantasnya orang tertawa atas permasalahan orang lain. Kalau tidak bisa membantu, yah paling tidak jangan menambah. Saya kuat, saya tetap berangkat ke sekolah setiap pagi. 

Saya mengajar dan pura-pura tertawa di depan anak-anak. Jika saya sedih, saya akan makan sangat banyak, jadi saya kenyang dan bisa langsung tidur. 

Beruntungnya mengajar di kelas kecil, kita selalu diberikan makanan dalam jumlah yang banyak. Saya lebih sering makan makanan manis dan dingin, itu membuat saya rileks. Jika saya tidak tahan, saya biasanya masuk ke kelas saat kelas kosong, dan menangis hingga tertidur di sana, padahal saya paling takut ruangan gelap. Saya menemukan cara saya sendiri untuk menjadi kuat. 

Banyak tekanan ini itu dari lingkungan kerja tapi saya menjadi semakin kuat setiap harinya. Ya, hotmian itu artinya kuat dan tahan banting, itulah saya, Hotmian Simalango.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun