Mohon tunggu...
Tiga  Cahaya Center
Tiga Cahaya Center Mohon Tunggu... Dosen - Dosen filsafat

Dosen filsafat di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Analisis

"REVITALISASI FALSAFAH SUKU ANGKOLA-MANDAILING ; Poda Na Lima dalam Perspektif Islam Sebagai Upaya Pemberantasan Korupsi"

3 Februari 2025   19:56 Diperbarui: 3 Februari 2025   20:10 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dr. Hotmatua Paralihan, M. Ag

(Dosen & Praktisi Media) 

Abstrak
Korupsi merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat.  Dalam Falsafah Angkola-Mandailing, konsep Poda Na Lima menjadi landasan moral dalam membangun karakter anti-korupsi, sejalan dengan ajaran Islam. Revitalisasi nilai-nilai ini memperkuat integritas individu dan kolektif. Hukuman adat bagi pelaku korupsi menekankan sanksi sosial dan moral untuk mencegah tindakan koruptif.

...................................................

 Muqaddimah 

Korupsi merupakan permasalahan sosial yang merusak tatanan kehidupan masyarakat. Dalam budaya Angkola-Mandailing, terdapat kearifan lokal bernama Poda Na Lima, yang dapat dijadikan sebagai landasan moral dalam membangun karakter anti-korupsi. Revitalisasi nilai-nilai dalam Poda Na Lima menjadi strategi untuk menanamkan integritas, kejujuran, dan etika bersih dalam kehidupan sosial dan pemerintahan. Ajaran ini sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Islam yang mengajarkan kebersihan lahir dan batin sebagai bagian dari keimanan.

A. Falsafah Poda Na Lima 

Poda Na Lima adalah falsafah hidup dalam budaya Angkola-Mandailing yang mengandung lima nasihat utama sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Nasihat ini tidak hanya berkaitan dengan kebersihan fisik, tetapi juga menyentuh aspek moral, sosial, dan spiritual. Berikut adalah makna dari masing-masing unsur Poda Na Lima.

1. Paias Rohamu (Bersihkan Jiwamu)

Makna Paias Rohamau dalam falsafah Angkola adalah sebuah konsep yang mendalam yang mencerminkan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama, serta alam semesta. Dalam konteks budaya Angkola, Paias berarti hubungan yang penuh kedamaian, keadilan, dan saling menghormati, sementara Rohamau merujuk pada pengorbanan atau ketulusan hati. Secara keseluruhan, Paias Rohamau dapat diartikan sebagai ajaran untuk hidup dengan penuh rasa hormat terhadap orang lain dan lingkungan, sambil menjalani kehidupan dengan ketulusan hati dan pengorbanan untuk kebaikan bersama.

Konsep ini menekankan pentingnya rasa saling mengasihi dan berbagi, serta hidup dalam kedamaian dan kesetiaan terhadap prinsip-prinsip kebaikan. Dalam masyarakat Angkola, falsafah ini sering dijadikan pedoman hidup untuk menciptakan keharmonisan dalam keluarga, komunitas, dan dalam hubungan sosial yang lebih luas.

Islam menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) sebagaimana dalam Al-Qur’an: "Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya." (QS. Asy-Syams: 9).

Pembersihan jiwa berarti menanamkan nilai-nilai kejujuran, amanah, dan tanggung jawab dalam setiap individu. Korupsi bermula dari hati yang kotor, penuh keserakahan dan nafsu duniawi. Dengan jiwa yang bersih, seseorang akan terhindar dari niat melakukan tindakan koruptif. Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Paias Pamatangmu (Bersihkan Badanmu)

"Paias Pamatangmu" dalam falsafah Angkola-Mandailing memiliki makna yang mendalam terkait dengan pentingnya menjaga kebersihan, baik secara fisik maupun spiritual. Secara harfiah, Paias Pamatangmu dapat diartikan sebagai "bersihkan badanmu," namun makna sebenarnya lebih luas daripada sekadar kebersihan tubuh.

Dalam konteks ini, Paias Pamatangmu mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan tubuh sebagai bagian dari tanggung jawab manusia terhadap diri sendiri. Kebersihan tubuh adalah cerminan dari kedisiplinan dan rasa hormat terhadap tubuh yang telah diberikan oleh Tuhan. Kebersihan yang dimaksud bukan hanya sebatas membersihkan tubuh dari kotoran fisik, tetapi juga menjaga kesehatan dengan pola hidup yang baik, seperti menjaga makanan, olahraga, dan istirahat yang cukup.

Secara keseluruhan, Paias Pamatangmu mengajarkan bahwa kebersihan adalah hal yang harus dijaga baik secara fisik maupun spiritual. Dalam kehidupan sehari-hari, konsep ini mendorong individu untuk menjaga tubuhnya tetap bersih dan sehat, serta menjaga hati dan pikiran dari hal-hal yang dapat mengganggu kedamaian batin. Prinsip ini juga berhubungan dengan ajaran untuk hidup dengan kesadaran, kehati-hatian, dan kejujuran, serta selalu berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam setiap aspek kehidupan.

Islam sangat menganjurkan kebersihan tubuh, seperti dalam hadits: "Kebersihan adalah sebagian dari iman." (HR. Muslim).

Badan yang bersih mencerminkan perilaku yang jujur dan transparan. Dalam konteks pemberantasan korupsi, pembersihan badan berarti memiliki moralitas tinggi dalam menjalankan tugas dan kewajiban, serta menjauhi segala bentuk praktik suap dan penyalahgunaan wewenang. Seorang Muslim diperintahkan untuk menjaga kebersihan lahir dan batin sebagai refleksi dari kesalehan individu dan sosialnya.

3. Paias Parabitonmu (Bersihkan Pakaianmu)

Makna Praktis: Pada tingkat yang lebih sederhana, Paias Parabitonmu mengajarkan untuk menjaga kebersihan pakaian. Dalam masyarakat Angkola-Mandailing, pakaian yang bersih dan terawat mencerminkan seseorang yang menjaga diri, memiliki rasa hormat terhadap diri sendiri, serta memiliki tanggung jawab terhadap penampilan luar. Ini dianggap sebagai bagian dari etika sosial, karena penampilan yang rapi dan bersih memberikan kesan yang baik dalam hubungan sosial.

Simbol Kehormatan: Pakaian bukan hanya digunakan sebagai pelindung tubuh, tetapi juga menjadi simbol dari kehormatan dan martabat seseorang. Oleh karena itu, menjaga pakaian tetap bersih dan layak dipandang adalah wujud dari penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain. Dalam tradisi budaya Batak, pakaian yang bersih juga menjadi penanda keseriusan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan menjaga hubungan dengan orang lain.

Pakaian yang bersih melambangkan kehormatan dan integritas diri. Dalam Islam, pakaian tidak hanya berfungsi untuk menutup aurat tetapi juga mencerminkan kesucian hati: "Dan pakaianmu bersihkanlah." (QS. Al-Muddatstsir: 4).

Seorang pemimpin atau pejabat publik harus memiliki citra yang baik, bukan hanya dalam penampilan tetapi juga dalam tindakan dan kebijakan yang diambil. Menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi adalah bentuk pakaian yang kotor, yang mencemarkan nilai-nilai moral dan budaya. Korupsi merupakan bentuk perilaku yang mengotori martabat seseorang di hadapan Allah dan masyarakat.

4. Paias Bagasmu (Bersihkan Rumahmu)

Dalam falsafah Angkola dan Mandailing, rumah dianggap sebagai tempat di mana keluarga berkumpul dan menjalani kehidupan bersama. Paias Bagasmu mengajarkan bahwa kebersihan rumah mencerminkan keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Rumah yang bersih dan tertata dengan baik mencerminkan kedamaian dan hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. Ini adalah cara untuk menjaga hubungan yang baik, saling mendukung, dan berbagi tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari.

Rumah merupakan simbol dari lingkungan terkecil dalam masyarakat. Dalam Islam, keluarga adalah tempat utama pendidikan moral dan nilai-nilai kejujuran: "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." (QS. At-Tahrim: 6).

Pembersihan rumah dalam konteks anti-korupsi berarti menciptakan lingkungan keluarga yang jujur, disiplin, dan menjunjung tinggi nilai keadilan. Pendidikan anti-korupsi harus dimulai dari rumah, agar generasi muda tumbuh dengan prinsip moral yang kuat. Seorang Muslim diwajibkan mendidik keluarganya dengan ajaran Islam yang benar, termasuk menjauhi perilaku koruptif.

5. Paias Pakaranganmu (Bersihkan Lingkunganmu)

Paias Pakaranganmu mengajarkan bahwa kebersihan lingkungan adalah cerminan dari tanggung jawab sosial dan spiritual seseorang. Menjaga kebersihan tidak hanya penting untuk kesehatan dan kenyamanan fisik, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap alam, komunitas, dan tradisi budaya. Prinsip ini mengajak setiap individu untuk berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang sehat, rapi, dan harmonis, serta menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam semesta.

Lingkungan yang bersih mencerminkan masyarakat yang adil, transparan, dan bebas dari korupsi. Dalam Islam, membangun lingkungan yang baik merupakan kewajiban: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan." (QS. Al-Ma’idah: 2).

Dalam pemerintahan dan institusi publik, transparansi dan akuntabilitas harus dijaga agar sistem pemerintahan berjalan dengan baik dan kepercayaan masyarakat tetap terjaga. Islam menekankan pentingnya keadilan dan amanah dalam kepemimpinan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

  B. Hukuman Adat bagi Pelaku Korupsi dalam Hukum Adat Angkola-Mandailing

Dalam hukum adat Angkola-Mandailing, korupsi dianggap sebagai pelanggaran berat yang merusak keseimbangan sosial. Hukuman bagi pelaku korupsi umumnya berupa sanksi sosial, pengucilan, dan hukuman moral yang diterapkan oleh masyarakat adat. Bentuk hukuman adat yang sering diberlakukan antara lain:

Dalam hukum adat Angkola-Mandailing, korupsi dianggap sebagai pelanggaran berat yang merusak keseimbangan sosial. Hukuman bagi pelaku korupsi umumnya berupa sanksi sosial, pengucilan, dan hukuman moral yang diterapkan oleh masyarakat adat. Bentuk hukuman adat yang sering diberlakukan antara lain:

Denda Adat (Umpasa dan Ulayat) – Pelaku diwajibkan membayar denda berupa harta atau materi kepada masyarakat sebagai bentuk ganti rugi atas perbuatan korupsi yang merugikan komunitas (Subekti, 2013).

Pengucilan Sosial (Marsialaing) – Pelaku korupsi dapat diasingkan atau dikucilkan dari pergaulan masyarakat karena dianggap mencemarkan nama baik suku dan komunitasnya (Mertokusumo, 2000).

Sumpah Adat (Sumpah Saring-saring) – Dalam beberapa kasus, pelaku harus bersumpah di hadapan tetua adat untuk tidak mengulangi perbuatannya, yang disertai dengan ritual adat (Siahaan, 2015).

Pencabutan Hak Adat (Pananggalan Umpung) – Bagi pejabat adat yang terbukti melakukan korupsi, hak-haknya dalam struktur adat bisa dicabut sehingga kehilangan pengaruh dan kehormatan dalam komunitas (Abdullah, 2008).

Hukuman Moral (Hinan Ni Parmalim) – Masyarakat akan memberikan stigma negatif kepada pelaku korupsi, yang dapat berdampak pada keturunannya dalam mendapatkan posisi terhormat dalam masyarakat (Alfian, 2002).

              Hukuman adat ini bertujuan untuk menciptakan efek jera dan menjaga keseimbangan moral dalam komunitas. Selain itu, sistem ini juga memiliki keterkaitan dengan ajaran Islam yang menekankan kejujuran dan amanah dalam kehidupan bermasyarakat.

C.  Penutup 

Revitalisasi Poda Na Lima dalam masyarakat Angkola-Mandailing merupakan pendekatan berbasis kearifan lokal dalam membangun karakter anti-korupsi yang sejalan dengan ajaran Islam. Jika nilai-nilai ini diterapkan secara konsisten dalam kehidupan individu, keluarga, dan pemerintahan, maka pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara lebih efektif. Dengan membentuk masyarakat yang bersih, jujur, dan berintegritas, kita dapat menciptakan lingkungan yang berkeadilan dan bebas dari praktik korupsi.

  

Referensi

Abdullah, T. (2008). Hukum Adat dan Masyarakat: Perspektif Sosial dan Budaya. Jakarta: LP3ES.

Alfian. (2002). Tradisi Hukum Adat di Sumatera Utara: Studi tentang Hukum Adat Batak. Jurnal Ilmu Hukum, 10(1), 67-82.

Al-Munawwar, S. (2003). Etika Islam dalam Kehidupan Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press.

Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Hadits Shahih Bukhari dan Muslim.

Harahap, A. (2015). Hukum Adat Mandailing dan Angkola. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.

Lubis, R. U. (2020). Poda Na Lima: Islamic Character Based on Local Wisdom in Angkola-Mandailing. Jurnal Ilmiah Syiar, 20(1), 72-88.

Mertokusumo, S. (2000). Hukum Adat di Indonesia: Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Liberty.

Siahaan, T. (2015). Korupsi dan Hukum Adat: Studi Kasus pada Masyarakat Adat di Sumatera Utara. Jurnal Hukum Adat, 15(2), 33-45.

Subekti, R. (2013). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Wahyudi, A. (2017). Korupsi dalam Perspektif Islam. Jakarta: Gramedia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun