Singgasana
Hotman J. Lumban Gaol
BILA BERKISAH singgasana, dari dulu, selalu menjadi cerita pendulum keserakahan. Singgasana berasal dari bahasa Sansekerta, sinhasana yang berarti kursi singa. Berbagai contoh singgasana berukir gambar singa, lazim ditemukan dalam kesenian Jawa kuno abad ke-VII. Seperti di relief Borobudur dan Prambanan. Singgasana Buddha Wairocana di Candi Mendut, dan banyak contoh yang lainnya. Entah kenapa, rupa-rupa singgasana, sepanjang sejarah selalu penuh narasi penghianatan. Di zaman Romawi kisah kematian Julius Caesar dibunuh anggota Senat. Sebenarnya dibungkus cerita penghianatan oleh orang kepercayaan, bernama Brutus. Konspirasi demi singgasana menyebabkan rangkaian penghianatan terjadi. Kekaisaran Roma sempat mengalami chaos setelah para pembunuhnya satu-persatu dibinasakan oleh pendukung Caesar yang kemudian melahirkan triumvirat. Trio kekuasasan singa: Markus Antonius, Lepidus, dan Octavianus yang masih berumur 18 Tahun.
Berlahan namun pasti, Lepidus lepas dari cangkang kekuasaan singa triumvirat. Setelah Markus Antonius yang kemudian mengawini Cleopatra (Cleopatra sendiri ikut bersekongkol mendongkel singgasana Caesar). Antonius bunuh diri yang pada gilirannya Octavianus naik tahta tunggal dengan gelar Augustus (27sM-14M). Agustus yang adalah keponakan cucu dari Julius Caesar yang dikenal sebagai penyelenggara sensus penduduk pertama, yang memaksa Yusuf dan Maria pergi dari Nazaret ke Betlehem, melakukan cacah jiwa, yang di tengah perjalanan Maria melahirkan Yesus.
Kisah lain Ken Arok dan Ken Dedes adalah kisah kudeta pertama dalam sejarah kerajaan di Jawa. Kudeta unik, penuh rekayasa dan kelicikan dibumbui perselingkuhan yang pada klimaksnya menumbangkan singgasana Tunggul Ametung. Ibarat lempar batu sembunyi tangan, itu yang terjadi. Semula Ken Arok adalah seorang pengawal setia Tunggul Ametung dan sebagai tangan kanan, Ken Arok sebagai orang kepercayaan ingkar dari sumpah. Setia, berubah menjadi penghianat, tatkala timbul keinginan untuk memiliki memperistri, Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Ken Arok akhirnya berhasil mewujudkan hasratnya melalui cara keji, menusuk dari belakang. Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dengan menggunakan keris yang ditempahnya kepada Mpu Gandring. Ken Arok, selain memperistri Ken Dedes juga menikmati singgasana di kerajaan Singosari.
Haus kekuasaan (singgasana) dari zaman ke zaman bukannya menjadi nihil, malah terus-menerus menyengat aroma, berklomplot demi singgasana. Hampir di semua cerita suku bangsa mengisahkan kisah daya pikat kekuasaan, memperebutkan kursi singgasana. Di dalam ungkapan Batak ada ucapan: unang hundul di talaga, alai lului hundul di hangaulu; jangan duduk tempat hina tetapi duduk di tempat terhormat. Ini semacam pesan mencari tempat duduk yang terhormat. Agak ambisi, soal pentinganya duduk dan mencari hormat. Tidak ada yang salah, perlu ada, tetapi acapkali kedudukan itu yang menjerumuskan pada kubangan.
Lalu, apa yang membuat orang haus akan kekuasaan? Singgasana membawa pengaruh, kekuasaan, wibawa, otoritas. Dan sudah tentu rasa hormat dipatri di pundak. Selai itu, otoritas itu, singgasana dapat memengaruhi pendapat, pemikiran, gagasan, dan perilaku orang, baik secara perorangan maupun kelompok. Menginginkan duduk di tempat singgasana, salah-salah bisa moleng. Merasa, paling terhormat punya singgasana, menjerumuskan.
Tak sedikit pula jatuh gara-gara masalah skandal singgasana. Kekuasaan, kedudukan bisa menjerumuskan, jika tidak bisa dikendalikan, bahkan tahta bisa membuat seseorang gila, menghalkan segala cara, bahkan membunuh. Nyatanya banyak pemilik singgasana yang tersangkut moral itu. Duduk di singgasana yang mulia, malah merusak moral. Daya tarik empuknya singgasana menjadi tujuan, harusnya hanya alat. Akibat singgasana menjadi tujuan; semisal orang berlomba-lomba mengejar kursi wakil rakyat. Sudah pasti mayoritas para caleg yang tanpa reputasi, mencalegkan diri demi kekuasaan diri, bukan murni untuk membela rakyat. Kampanye untuk membela rakyat sudah dianggap basa-basi. Umumnya caleg hanya demi mengejar kekuasaan, singgasana. Sudah pasti tidak semua berhasil. Akibatnya, jika sang caleg gagal nanti akan stress, tak sedikit menjadi gila, terlibat kasus uang panas. Lalu yang pada gilirannya berhasil menjadi wakil rakyat, banyak juga terjerat korupsi. Dibui di hotel prodeo gara-gara sudah mengeluarkan-lalu-memasukkan banyak uang demi kursi singgasana.
Itu sebab, kata harta, tahta dan wanita setali tiga uang. Seperti lingkarang setan. Tak mampu mengendalikan singgasana, mengelola diri, maka akan membawa malapetaka. Sebagaimana contoh Akil Mochtar, mantan ketua Mahkamah Konsitusi itu seketika berita tentangnya mencuat. Penangkapan Akil oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sebuah operasi tangkap tangan pada, Rabu (2/10/13) membuat namanya langsung menjadi topik pembahasan di mana-mana. Akil dibicarakan di media sosial seperti twitter dan facebook. Sekaligus menjadi headline di sejumlah media online, cetak, dan televisi. Kita miris melihat kenyataan yang ada. Bagaimana mungkin seorang yang duduk di singgasana terhormat melakukan cara yang tidak hormat!
Amat memilukan bila melihat orang yang memiliki-mengejar singgasana tidak mampu mengendalikan diri, apalagi karena pulus. Maka, disinilah pentingnya yang duduk di singgasana memberi alarm di hatinya. Siap melawan godaan. Sebab orang yang duduk di singgasana, meminjam kata Iwan Fals adalah “Manusia Setengah Dewa.” Tanpa ada self control, semua orang tanpa terkecuali akan digulum oleh tsunami singgasana. Banyak yang duduk di singgasana tersesat karena tak mampu mengelola hati. Termasuk yang namanya hamba Tuhan tak bisa selamat dari kungkungan tsunami singgasana, itu.
Dunia dengan daya tariknya; kekuasaan, materi dan seksual selalu kait-mengkait. Tetapi yang paling banyak membuat orang gila adalah karena haus kekuasaan, bisa menggunakan uang dan seks. Thomas Hobbes seorang filsuf Inggris berkata manusia serigala bagi yang lain. Manusia hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan diri. Sebab kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap manusia lain: homo homini lupus, manusia adalah serigala, mirip singa, bagi sesamanya.
Si pengejar singgasana merasa, berkuasa atas oranglain adalah suatu kenikmatan tersendiri. Dengan berkuasa “duduk di singgasana” memiliki kekuasaan atas oranglain, maka memiliki peluang untuk bisa memaksakan kehendaknya. Jika tak bisa menahan diri, haus kekuasaan, memang mudah memperoleh kehormatan dan sikap tunduk dari orang yang dikuasainya. Kekuatan “otoriter” itulah yang lebih banyak menggoda dan mengarahkan orang pada penyalahgunaan kekuasaan.
Kontradiktif dalam ajaran Kristen, menjadi pelayan, bukan mengejar hormat. Alkitab mengajak umat agar bersikap kritis dalam menjalankan hidupnya ditengah-tengah dunia ini. Surat rasul Paulus kepada umat di Roma dengan tegas mengatakan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah, apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rom. 12:2). Dan, dalam suratnya yang kedua kepada Timotius, Paulus menandaskan soal penguasaan diri dalam segala hal.
Apakah yang baik ataukah yang buruk? Yang baik akan mendapatkan imbalan kebaikan. Sementara, yang tidak baik akan mendapatkan akibat yang tidak baik. Tuhan hanya minta pertanggungjawaban atas perbuatan yang kita lakukan. Tuhan itu Maha Adil, pasti akan memberikan imbalan yang adil pula, termasuk yang memiliki singgasana, kursi kekuasaan. Si penikmat singgasana jikalau tidak hati-hati, tidak menjaga diri, kursi singgasananya sendiri akan menjungkalnya. Karena itu, rupa-rupa godaan, dengan berbagai daya tarik tadi sebagai ujian bagi seberapa kuatnya integritas seseorang yang duduk di singa-singgasana.
Singgasana mestinya bukan untuk menggungkung, tetapi memerdekakan dan membebaskan. Bukan naluri singa yang mengaung, menyebar ketakutan. Tetapi kekuatan kekuasaan untuk kemaslahatan bersama, membawa damai dan keadilan. Godaan-godaan singgasana begitu kuat, dan betapa orang kebanyakan tidak mampu melawan godaannya. Karena itu, integritas yang kokoh dapat membuat yang duduk di singgasana disandung dan menerima keluhuran. Memiliki sikap yang jelas dan tegas, juga dengan iman orang rela berkorban demi sesuatu yang nilainya lebih tinggi pada semacam itulah singgasana ada. Akhirnya, sebaik-baiknya kekuasaan bermanfaat untuk orang banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H