Jong Batak Lahir dari Cinta Kasih ‘Haholongan’
Oleh: Hotman J Lumban Gaol
“Bahasa Batak kita begitu kaya akan puisi, pepatah, dan pribahasa yang kadang-kadang mengandung satu dunia kebijaksanaan tersendiri. Bahasanya sama dari Utara ke Selatan, tapi terbagi dengan jelas dalam berbagai dialek. Kita memiliki budaya sendiri, aksara sendiri, seni bangun yang tinggi mutunya, yang sepanjang masa tetap membuktikan bahwa kita memiliki nenek-moyang yang perkasa. Sistim marga yang berlaku bagi semua kelompok penduduk negeri kita menunjukkan adanya tata negara lama yang bijak. Kita mempunyai hak untuk mendirikan sebuah Perserikatan Batak yang khas, yang dapat membela kepentingan-kepentingan kita dan melindungi budaya kuno kita…” (Hans Van Miert, hal 475)
Pernyataan itulah yang didengungkan para pendiri Jong Batak takkala mereka mendirikan organisasi tersebut. Jong Batak dibentuk oleh anggota Jong Sumatera Bond yanga berasal dari etnis Batak. Para pemuda Batak tidak merasa nyaman berada di bawah ketiak Jong Sumatera Bond yang didominasi etnis Minangkabau. Perpisahan itu didorong oleh silang pendapat sesama pemuda Sumatera tersebut.
Sebenarnya, sebelum Jong Sumatera Bond ada, sudah ada organisasi pemuda Batak, walau tidak bergerak di bidang politik. Tujuannya adalah persaudaraan. “Haholongan, ” namanya. Haholongan berarti kekasih. Organisasi inididirikan untuk mengatasi kesulitan para pemuda-pemudi Batak di Batavia ketika itu. Anggotanya pemuda Batak yang beragama Kristen dan Islam. Organisasi ini adalah perkumpulan sosial, saling-membantu kalau ada kemalangan di antara para anggotanya.
Dari Haholongan kemudian lahirlah organisasi olahraga Bataks Voetbal Vereniging (BVV), dipimpin oleh J.K. Panggabean. BVV diganti menjadi Bataksbond, dan dari sinilah kemudian muncul organisasi bernama Jong Batak. Kegiatannya adalah politik. Pendirinya antara lain Amir Syarifuddin Harahap, yang di kemudian hari menjadi Perdana Menteri, Ferdinand Lumbantobing, kelak menjadi menjadi Menteri Penerangan, dan Sanusi Pane, sastrawan angkatan ‘45.
Tahun 1915 pemuda-pemuda Batak tamatan HIS Sigompulon, Tapanuli Utara, sebagian besar melanjutkan sekolah ke Kwekschool Gunung Sahari di Jakarta. Tahun 1917, Simon Hasibuan, seorang bekas guru Zending yang bekerja pada jawatan Kadaster mengumpulkan para pemuda pelajar tersebut dalam satu pesekutuan, “Sauduran.” Kata Sauduran berasalah dari kata “udur” yang berarti pergi bersama-sama, satu derap langkah atau seia-sekata sepenanggungan dalam satu tujuan bersama. Tahun 1922, pendeta Mulia Nainggolan, pendeta Huria Kristen Batak yang pertama di Batavia dan Jawa menjadi“paniroi” atau pembina Sauduran.
Waktu itu jumlah anggota jemaat sebanyak 50 orang, salah seorang di antara mereka adalah Merari Siregar, penulis “Azab dan Sengsara.” Di tahun 1920-an, makin banyaknya pemuda tamatan HIS dari tanah Batak melanjutkan pendidikannya dan mencari pekerjaan ke Batavia. Sensus tahun1930 menunjukkan jumlah orang Batak di Batavia 1.263 jiwa.
Ada pula yang kembali ke Tapanuli, seperti Hezekiel M. Manulang, yang mendirikan media “Soeara Batak” dan membangun gerakan untuk menentang pengusaha-pengusaha Eropa terutama Belanda yang hendak membuka perkebunan di daerah Silindung, Tapanuli Utara.
Bangso Batak
Tatkala Jong Sumatera Bond pecah tahun 1925, kesadaran Batak perlahan mulai mencuat. Kesadaran sesama satu suku mengkristal menjadi semangat baru untuk mendirikan Jong Batak.
Tahun 1927, mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, yang kemudian hari menjadi Perdana Meteri Belanda bernama Hendrikus Colijn mengatakan, “Kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Karena, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah suku yang terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah-wilayah.” Menentang pernyataan Colijn, 28 Oktober 1928 lahirlah Sumpah Pemuda oleh Kongres Pemuda II. Di Kongres inilah organisasi pemuda kedaerahan bersatu, termasuk Jong Batak. Jong Batak diwakili Amir Sjariffudin Harahap dan Sanusi Pane.
Jong Batak hampir tidak diperhitungan ketika deklarasi Sumpah Pemuda diumumkan karena sentimen-sentimen negatif dari anggota Jong Sumatera Bond yang lain. Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci-maki di antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama orang Sumatera. “Sekali memilih dalil bahwa kekuatan suatu bangsa sebagian terdapat dalam kebudayaannya, maka dengan berpikir secara konsekuen kami telah sampai kepada kesimpulan bahwa suatu Jong Batak Bond mempunyai hak untuk berdiri,” kata Sanusi Pane, sastrawan terkemuka asal Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, ini.
Dan kepada para anggota Jong Batak dia berpesan, “Jika kita ingin agar perhimpunan ini berumur panjang, maka jangan sekali-kali kita memasuki perhimpunan ini dengan pertanyaan keuntungan apakah yang akan kita peroleh, melainkan dengan pertanyaan apakah yang dapat kita berikan. Janganlah kepentingan kita sendiri menjadi pendorong kita untuk menjadi anggota, melainkan rasa cinta terhadap bangso Batak.”
Jong Batak telah tiada, tetapi sejarah mencatat sumbangannya dalam membangun bingkai kebhinnekaan. Jong Batak dengan warna kedaerahan telah ikut menumbuhkan semangat kebersamaan, dan tumbuhnya kesadaran yang lebih besar, yaitu nasionalisme. Sejarah juga telah menulis cinta kasih “Haholongan “ telah mengantarkan pemuda Batak mendirikan “Jong”-nya sendiri, sama seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915) yang terkenal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H