Kembali Kepada Peran Di Dapur, Di Sumur Dan Di Kasur
Kita patut berterima kasih kepada Ibu R.A Kartini yang telah memperjuangkan emansipasi wanita. Wanita sudah ada di mana-mana dan tidak lagi diragukan kompetensi dan kredibilitasnya. Apa yang dulu dianggap sebagai pekerjaan maskulin seperti militer, kuli, tukang becak, petualang dll sudah dapat dikerjakan oleh wanita.
Banyak wanita Indonesia telah mengecap pendidikan tinggi dan berkarir di segala bidang. Meski dengan latar belakang suku budaya yang mayoritas mendewakan kaum pria tetapi lahirnya kebijakan yang mewajibkan 30 % wanita harus duduk di parlemen merupakan pembuktian bahwa keberadaan wanita telah diterima di Indonesia.
Peran wanita dalam era globalisasi tidak lagi perlu dipertanyakan. Saat ini, kita harus mengampanyekan supaya semua wanita tidak hanya tetap berkarir tetapi juga harus tetap berada di dapur, di sumur dan di kasur. Sebab peran ini semua sudah digantikan oleh orang lain. Sebab kebahagian keluarga bermuara di tempat ini dan keluarga bahagia adalah generasi bahagia. Generasi bahagia adalah generasi sehat penerus bangsa.
Tingginya angka perceraian di Indonesia yang katanya ada 40 perceraian setiap jamnya dan diduga sebagai faktor penyebab tingginya seks bebas remaja dan sangat mencengangkan kebanyakan terjadi di rumah masing-masing. Masyarakat menyalahkan sekolah (walau sekolah adalah masyarakat itu sendiri. Bobroknya karakter generasi bangsa ini dimulai ketika orang tidak lagi memperhatikan bahwa pendidikan karakter wajib dimulai dan wajib ada di rumah. Tentu tidak ada orang tua khusunya ibu disalahkan sebagai kambing hitam. Walau dengan dalih “ saya tetap punya quality time bersama keluarga meski saya harus pulang larut malam karena karir". Hanya saja ibu harus tetap bertanggunp jawab penuh di rumah.
Misalnya peran di 'dapur], memastikan setiap anggota keluarga bisa duduk bersama di meja makan. Sungguh bahagia, dulu kita sering berkata 'rindu masakan ibu'. Sekarang anak-anak sudah lebih sering merindukan masakan ‘Mpok Inem’. Lebih dari itu bonding bersama keluarga tercipta di meja makan.
Tetap memperhatikan pendidikan anak di rumah semisal memberi tanggung jawab pekerjaan rumah akan membuat anak betah bernaung di rumah. Meskipun PRT lengkap-lengkip di rumah tak salah memberi mereka tugas semisal mencuci piring atau membuang sampah adalah contoh yang terlupakan ibu memaknai perannya di 'sumur'.
Bahkan semisal peran di 'kasur', menidurkan anak sembari mengajarkan anak-anak hal-hal sederhana, mengucapkan terima kasih. Terima kasih kepada keluarga dan juga terima kasih kepada penciptaNYa. Bukan saja sebatas rutinitas kerohanian tetapi lebih dalam bahwa kecerdasan spritual anak akan membawa mereka menyadari siapa diri mereka dan memberi makna atas hidup mereka.
Diperlukan ibu yang cerdas dengan berbagai pendidikan yang telah mereka raih. Ibu cerdas yang akan meghasilkan generasi cerdas emosional dan cerdas spritual. Itulah sejatinya peran ibu di era globalisasi kini.
Kartini Masa KIni
Seorang pengkhotbah pernah menerangkan ayat ini dalam sebuah kebaktian mahasiswa ketika saya berada di kampus dulu. Sangat berkesan dan menjadi inspirasi bagi saya. “Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret : dan Ia tetap hidup dalam asuhan hidup mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu dalam hatinya. Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia. (Lukas 2: 51-52)
Tentu saja peran ibulah yang menarik perhatian saya. Walau tak diceritan, dan akan berhalaman-halaman bila diceritakan cerita apa yang terjadi selama ‘Ia bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya’. Setelah saya menjadi ibu, saya membayangkan bagaimana kisah perjuangan membesarkan anak selama 12 tahun pertama itu.
Mulai dari usia tiga bulan bayi beradaptasi dengan lingkungan barunya setelah selama sembilan hidup dalam rahim ibunda yang hangat. Melewati masa ASI ekslusif di enam bulan dan merayakan ulang tahun pertamanya. Menatanya berjalan dan mendengarkan kata pertama yang dia ucapkan. Menemaninya hari pertama masuk TK dan sangat cerdas bertanya jawab dengan alim ulama di usia 12 tahun.
Bagaimana ibunya harus berjaga setiap menit ketika sakit sementara ia juga berjuang atas kelemahannya sendiri. Semisalnya saya, bagaimana harus menahan teriakan ketika kesal dengan usilnya anak-anak. Bagaimana tidak mengeluh dalam keletihan. Bagaimana mengucap syukur dalam kesesakan. Bagaimana membagi waktu antara keluarga dan karir sehingga anak menjadi ‘dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia. Itulah, menurutku peran Kartini masa kini.
Kartini adalah setiap wanita yang perjuangkan cita-citanya. Mengerti tujuannya dan berjuang dalam proses pencapaian tujaun tersebut. Kartini yang walau tidak dicatat dalam sejarah atau dishare di berbagai medsos tetapi diam-diam menghasilkan ‘kartono-kartono masa kini’ seperti Riggie Mahendra DoNny DanaRdono Iwan Marpaung dan ‘kartini-kartini masa kini’ seperti Sri Pudjiastuti, Najwa Shihab, Diana Rikasari Amelia Hirawan Ibu guru bahasa Indonesiaku waktu SMP dan ibu tukang parkir yang di depan Toko Makmur Rantauprapat.
Jadi, Kartini sejati adalah dirimu hai wanita dan diriku juga.
Â
Peluang dalam Tantangan atau Tantangan dalam Peluang
Saya mengenal seorang Bapak yang sangat peduli akan pendidikan anak-anaknya. Orang tua adalah guru wajib bagi anak-anak di rumah. Sejak TK-SMA, beliau sendiri yang membantu PR anak-anak. Ketika beliau mulai kesulitan terhadap materi pelajaran fisika SMA (meski bapak ini adalah dosen Metalurgi), beliau sendirilah yang langsung les privat, (bukan anaknya) untuk bisa membantu menyelesaikan PR fisika anak tersebut. Atau Saya juga pernah mendengar seorang ibu dengan pendidikan S2 dan karir hebat di sebuah perusahan besar di Jakarta harus meninggalkan semua itu demi sebuah tujuan akan menghantarkan semua putranya meraih beasiswa luar negeri.
Mungkin kita tak harus seekstrim itu, tetapi inilah kebutuhan mendesak bangsa ini : orang tua, khususnya ibu adalah guru utama bagi anak-anak. Bukan sekedar guru bidang studi tetapi guru kehidupan buat anak-anak.
Tak bisa dipungkiri, peluang untuk mendapatkan pendidikan yang telah diperjuangkan Kartini dari Jepara itu telah membuat kaum perempuan juga bebas berkarir apa pun. Tantangan menyeimbangkan keluarga dan karir sangat berat. Misalnya sore tadi, saya harus menghentikan pekerjaan membersihkan piring ketika melihat putri saya yang berusia 2,8 tahun mengambil gelasnya dan minum sendiri. Saya langsung memberi jempol dan pujian karena selama ini saya harus rajin menyodorkan air putih kepadanya. Waktu ini, saya harus terbangun menyelesaikan tantangan hari ketiga ini meski badan sudah remuk redam seharian beraktivitas. Belum lagi tantangan sempat blank no idea apa yang harus saya tuliskan. Bersyukur peluang tersedianya akses internet 24 jam memudahkan saya memposting tulisan ini di waktu ini.
Peluang untuk menjadi yang tercepat menjadi tantangan untuk lebih bersabar. Peluang untuk menjadi yang terhebat menjadi tantangan untuk lebih sederhana. Peluang untuk meraih hasil menjadi tantangan menjadi lebih setia dalam proses (untuk meraih hasil itu). Ibu yang adalah perempuan (tidak harus ibu biologis, semakin diperlukan banyak ibu psikologis) harus bisa melihat peluang di setiap tantangan. Peluang dan kesempatan mencerdaskan anak bangsa di tengah tantangan dekadensi moral. Peluang dan kesempatan mendidik emosional anak di tengah tantangan keegoisan kemajuan zaman. Peluang dan kesempatan menanamkan nilai spritualitas (bukan rutinitas keagamaan) di tengah dunia yang tuli terhadap pencipta-Nya.
Berdikari, Berkembang dan Berkarakter
Berdikari, berdiri di kaki sendiri, mandiri. Bukan hanya sekedar mampu melakukan pekerjaan fisik seperti naik tangga memasang bola lampu atau mencat tembok. Mandiri dalam arti mampu memutuskan hal-hal penting dalam hidupnya. Memilih pendidikan yang tepat, jenis pekerjaan yang menjadi passion baginya, menikah atau melajang dan hal-hal yang sangat prinsip lainnya.