I Beyond Blogging
“Bu, aku pernah membaca artikel ada seorang siswa TKJ bisa menjadi kaya karena ia memasukkan sebuah software di blog-nya sehingga banyak orang mengambilnya. Aku juga sudah buat blog dan tugas cerpen yang ibu suruh saya posting di sana”, cerita Ayuna salah seorang siswiku di kelas. Kala itu, untuk pertama kalinya aku mendengar kata ‘blog’.
Lalu kuminta dia untuk mengajariku sebagai bentuk penyanjungan terhadapnya yang berlatar belakang jurusan TKJ walaupun aku sendiri belum tahu bagaimana bentuk blog itu. Hanya saja dari penjelasannya tampak bahwa blog itu sesuatu yang positif dan menghasilkan uang. Meski akhirnya kami berdua terlalu sibuk dan melupakan perjanjian itu, tetapi akhirnya aku senyum-senyum sendiri kalau ternyata blog itu adalah laman-laman yang ‘bermarga’ com, wordpress, atau blogspot.co.id. Laman yang hampir setiap saat kucari saat aku membutuhkan referensi untuk mengajar di kelas.
Guru Beyond Blogging
Jika saja dua juta guru yang ada di Indonesia punya blog pribadi, maka akan ada juta situs dari lima juta blog di dunia maya yang ada saat ini. Jadi, hanya ada situs pelajaran yang akan mereka dapatkan untuk setiap apapun yang akan diketik siswa di mesin google itu. Situs yang ‘tak benar’ itu akan tenggelam dengan sendirinya dan blog guru pun akan mewarnai karakter siswa Indonesia.
Tak bisa menulis? Pasti bisa, toh semua guru yang mensyaratkan minimal S1 pasti pernah menulis skripsi mereka masing-masing. Kalaupun tetap dengan alasan tersebut, guru bisa mengetik materi pelajaran dari buku pegangan, mengetikan soal harian atau bahan ujiannnya. Katanya setiap tulisan akan menemukan pembacanya masing-masing dan betapa beruntungnya seorang guru bahwa ia mempunyai pembacanya sendiri. Bayangkan saja bila seorang guru masuk tiga kelas untuk satu materi yang sama, maka ia sudah punya 90 orang dari 30 siswa per kelasnya yang akan menjadi pembaca wajib blognya.
Materi, soal dan nilai siswa pun bisa dipampangkan di sana. Terlebih di era digital saat ini, anak-anak sudah lebih senang belajar dengan media internet daripada sekedar papan tulis. Anak-anak lebih mudah mengerti dan awet mengingat saat materi ditampilkan dalam dimensi audio visual. Selain itu, guru semakin efisien memeriksa tugas anak-anak. Tidak perlu lagi membawa buntelan berat buku tugas siswa, cukup cek dari email lalu bisa dibaca di mana saja dan kapan saja. Misalnya, saat dalam perjalanan bisa dimanfaatkan untuk membaca hasil tagihan tersebut.
Gurunya gaptek? Lho kan bisa belajar. Waktu diklat sertifikasi guru diwajibkan membawa laptop artinya setiap guru profesional wajib tahu kan, minimal membuka dan menutup laptop. Lha, wong untuk kursus mengemudi masih berani dan on meski sudah sudah berkepala lima, masa untuk kursus komputer kita tak punya kemauan? Kan guru profesional? Lha wong untuk eksis di facebook kita bisa kok, mengapa tak menjadikan facebook sebagai pintu masuk siswa ke rumah blog guru. Selain itu, menjalin pertemanan dengan siswa membuat guru dapat mengenal karakter siswanya dan guru dapat memainkan perannya sebagai ‘polisi karakter’ siswa.
Tidak punya laptop? Lho, kan ada dana sertifikasi, yang memang dikhususkan untuk peningkatan profesionalisme. Jangan hanya dipakai untuk beli tanah dan mobil. Dana sertifikasi juga dipakai untuk beli mi-fi dan juga paket data. Kalaupun tidak ada paket data, ada banyak layanan wi-fi gratis. Perpustakaan umum, sekolah, bahkan nongkrong di kafe pun tetap ada layanan wi-finya.
Guru harus terus meng-up dateskill-nya. Apalagi tuntutan dunia digital sekarang. Yang lalu guru wajib mengisi e-pajak dan e-pupns, menyedihkan guru harus membayar dua ratus ribu ke operator karena tidak mau direpotkan dan diribetkan dengan segala macam yang namanya e (electronic) tersebut. Wacana e-kinerja akan memaksa guru meng-up load semua perangkat pembelajarannya. Dokumen berharga guru yang tidak akan hilang dan rusak karena akan tersimpan baik di dunia virtual.
Mulai RPP, materi, media dan alat, soal, jawaban dan nilai siswa. Semua itu akan menjadi penilaian on line yang sering disebut dengan DP3 on line. Selain itu, guru dapat berbagi pengalaman mengajarnya. Menceritakan keberhasilannya atau merefleksikan kegagalannya. Kegagalan tersebut dapat menjadi sumber masalah penelitian tindakan kelas (PTK). Selain untuk syarat kenaikan pangkat, PTK juga dapat diikutkan dalam lomba dan menghasilkan uang. Jadi, sangat memungkinkan satu guru satu blog.
Kompasiana Beyond Blogging
Jika saja setiap blog guru adalah rumah maya wajib siswanya, maka berharap Kompasiana pun kelak akan menjadi rumah maya wajib setiap guru di Indonesia. Kompasiana akan menjadi mesin google guru di Indonesia. Seperti saya sering mencari sesuatu cukup di Kompasiana saja. Cukup ketik 'kecerdasan ganda', maka saya akan mendapatkan sejumlah artikel yang saya butuhkan, tidak perlu lagi ke ‘ana-ana’ yang lain. Saya lebih percaya tulisan kompasiana karena para penulisnya adalah orang-orang hebat dan kompeten. Karena itu, hendaklah setiap orang menulis sesuai kompetensinya. Seorang dokter bisa saja sangat pintar, tetapi ia akan teringgal bila tak menulis. Seorang pengacara bisa saja handal, tetapi ia akan tergilas zaman bila tak menulis. Menulislah setiap pengusaha, petani, nelayan, politikus, arsitek, hakim, jurnalis bahkan guru itu sendiri. Menulis dalam jurnal keilmuan mereka dan memopulerkannya di Kompasiana. Kompasiana beyond blogging.