Berdasarkan etimologinya hoax berasal dari hocus yang artinya menipu. Sementara dalam Merriam Webster, kamus asing yang legendaris itu, hoax bermakna membuat sesuatu yang salah atau tidak masuk akal menjadi sesuatu yang dipercaya atau diterima seolah-olah itu memang benar adanya. Maraknya hoax belakangan ini membuat pemerintah mencatatkannya tahun 2017 lalu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V yang juga tersedia secara online dengan bentuk serapan hoaks yang bermakan berita bohong.
Mengapa berita itu harus bohong atau dibuat tidak sebenarnya? Karena ada kepentingan di balik berita bohong. Kepentingan itu bisa karena politik dan kepentingan komersial untuk mendapatkan keuntungan.Â
Hoaks diproduksi massal oleh pabrik hoaks. Produknya berupa kebencian pada seorang tokoh/etnis/institusi dll, deligitimasi kebenaran, dan menciptakan kebenaran sesuai kemauannya.Â
Si pemilik pabrik menikmati uang dari donatur pemesan hoaks. Selanjutnya adalah tugas makelar hoaks untuk memasarkannya melalui akun buzzer dengan cara memprovokasi, memainkan hastag dan sindikasi akun buzzer. Para marketing ini menikmati uang dari produsen hoaks. Akhirnya sampailah hoaks dikonsumsi para follower untuk me-like dan me-share. Mereka tidak dibayar dan cenderung sukarela karena kepentingan dan kebencian pada seseorang, etnis, atau institusi tertentu.
Lalu, siapakah yang mengonsumsi hoaks media sosial itu? Berdasarkan usia pengguna media sosial, remaja usia 13-18 tahun sebesar 75%, kemudian usia 19-34 tahun sebesar 74% dan usia 35-55 tahun sekitar 44 %.Â
Bisa dibayangkan bila remaja membaca hoaks mereka akan langsung menelannya tanpa mengkritisinya. Lalu bagaimana pula yang berusia 19-34 tahun? Mungkin bila kita awam terhadap kesehatan atau bukan orang medis maka maklum saja kita percaya bahwa dengan mencucukkan jarum ke tangan penderita kolesterol akan menyelamatkan nyawanya bahkan akan dengan segera men-share sebagai bentuk tanggung jawab kemanusiannya.Â
Lalu bila ada seorang sarjana ekonomi yang meremehkan manfaat infrastruktur bukankah ijazah sarjananya patut dipertanyakan.
Jenis hoaks yang paling banyak diproduksi berdasarkan #KompasDataadalah politik sebesar 91,80 % dan SARA sebesar 88,60 %. Ini bahaya. Bayangkan ada sekitar delapan ratus ribu situs hoaks dan bila sudah menyinggung SARA terlebih menyangkut ujaran kebencian terhadap suatu golongan atau agama tertentu. Maklumlah, masyarakat kita sangat agamis, sangat percaya pada kebenaran agama adalah kebenaran sejati, kebenaran hakiki, kebenaran di atas kebenaran ilmiah.Â
Jangankan yang sarjana, yang masterpun sekalipun akan termakan hoaks. Jangankan pemerintah, orang tua sendiri pun akan ditentang habis bila menyangkut kepercayaan. Meskipun ada berita tandingan, dia akan tetap menganggap itu hoaks.Â
Hoaks agama dirasa lebih nyaman sehingga muncullah definisi hoaks yang baru itu yaitu, mana berita yang membuat dia nyaman akan dianggap benar dan mana berita yang membuat dia terganggu akan dianggap hoaks.
Itulah sebabnya saya sangat setuju terhadap lomba blog Jika Aku MenAg yang digagas oleh Kemenag. Selamat kepada Kemenag yang tanggap akan bahaya hoaks terhadap masyarakat yang majemuk dan multiagama ini. Hoaks dapat memecahbelah persatuan bangsa. Hoaks seperti bom waktu yang meluluhlantahkan bangsa ini.