Hampir tiap pagi aku mendengar nenek yang tinggal di sebelah tempat tinggalku itu menyapu halaman dengan sapu lidinya. Halaman rumah itu memang cukup luas, ditumbuhi satu pohon mangga besar dan dua pohon ketapang yang cukup memayungi halaman rumah pada saat panas terik. Nenek itu melakukannya dengan rutin, yaitu jam 6 pagi. Jam dimana aku masih tenggelam diantara boneka-bonekaku yang empuk. Aku memperhatikan apa yang dilakukan nenek itu pasti ingin memastikan halaman rumahnya bersih dari dedaunan yang gugur dari pohon-pohon. Tapi..... sampahkah dedaunan itu?
Jauh sebelum manusia mendominasi populasi planet bumi, dedaunan itu sudah menjadi kekayaan yang sangat menyenangkan bagi tanah, surga bagi para cacing, deposito bagi humus dan selimut yang hangat bagi bumi. Seperti itulah kondisinya hingga manusia menciptakan benda yang ringan dan sangat praktis yang sampai sekarang disebut sebagai “sahabat” manusia. Dialah plastik, sabahat manusia, dijunjung tinggi karena kepraktisannya. Untuk sahabat itulah manusia menyebut dedaunan itu adalah sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H