Etika komunikasi sebagai komponen krusial dalam menjaga integritas dan kredibilitas dalam penyebaran informasi. Di era informasi yang serba cepat dan digital, etika komunikasi menjadi komponen krusial dalam menjaga integritas dan kredibilitas penyebaran informasi.Â
Dari media hingga periklanan, serta dalam interaksi sehari-hari, prinsip-prinsip etika komunikasi seperti kebenaran, keadilan, transparansi, tanggung jawab, dan privasi harus dijunjung tinggi untuk membangun kepercayaan dan keadilan dalam masyarakat.Â
Indonesia saat ini diwarnai oleh aksi penolakan terhadap RUU Penyiaran yang sedang digodok oleh pemerintah. Seperti yang terus diberitakan, gelombang penolakan ini melanda berbagai daerah di seluruh Indonesia.Â
Para jurnalis, aktivis, dan masyarakat sipil bersatu padu menentang rancangan undang-undang ini, yang mereka anggap berpotensi mengancam kebebasan pers dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan sehat. Lalu, bagaimana sebenarnya etika komunikasi berperan dalam konteks ini?
Isu penolakan RUU Penyiaran ini mencuat di ruang publik ketika diangkat oleh komunitas Remotivi pada awal Mei lalu. Sejak diusulkan hingga sekarang, pembahasan RUU Penyiaran tidak pernah melibatkan pihak-pihak terkait, seperti komunitas pers dan akademisi.Â
Hal ini menyebabkan penolakan terhadap RUU ini semakin meluas. Pasal-pasal tersebut berpotensi membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia yang merupakan fondasi penting sistem demokrasi kita. Pasal-pasal tersebut berpotensi membungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia yang merupakan landasan utama  sistem demokrasi kita.
Peraturan pengawasan konten tidak hanya membatasi kebebasan pers, namun juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara melalui berbagai pasal yang bertujuan membatasi kebebasan tersebut.Â
Selain itu, ancaman pidana terhadap jurnalis yang memberitakan berita kontroversial merupakan salah satu bentuk kriminalisasi terhadap profesi jurnalistik, dan adanya pasal-pasal bermasalah yang membatasi kebebasan berekspresi merupakan ancaman bagi  tim konten YouTube, podcaster, dan juga berpotensi menghilangkan lapangan kerja untuk para pembuat konten media sosial dan pencipta aktivitas media lainnya.
Salah satu poin penting dengan adanya beberapa pasal yang justru dibuat bukan untuk mewujudkan adanya negara demokrasi, justru sebaliknya untuk semakin membungkam massa. Pengaturan yang mengintensifkan pengawasan konten digital oleh KPI, misalnya, menimbulkan keraguan akan kemampuan lembaga tersebut dalam menjalankan fungsi pengawasannya secara netral dan transparan. Sebagai konsekuensinya, hal ini bisa membawa dampak negatif terhadap keragaman opini dan informasi di ruang publik.Â
Sebagai contoh, pasal 50B poin 2 huruf c dimana pasal tersebut menimbulkan banyak tentangan dari berbagai pihak sebab  mengandung larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalisme investigasi. Sebagaimana diketahui, media investigatif sudah ada sejak lama dan berperan dalam mendukung penegakan hukum dan demokrasi, dengan syarat  media  harus bertindak objektif, transparan, dan tidak memihak. Sepanjang karya jurnalistik mematuhi prinsip Kode Etik, berdasarkan fakta dan data yang benar, serta melayani kepentingan publik, maka penerbitan dan penyiarannya tidak boleh dilarang.
Dalam konteks penolakan terhadap RUU Penyiaran di Indonesia, terlihat adanya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip etika komunikasi yang krusial. Pembahasan RUU yang tidak melibatkan pihak-pihak terkait, larangan terhadap kebebasan pers dan berekspresi, ancaman pidana bagi jurnalis, serta pengaturan yang membatasi keragaman opini dan informasi merupakan contoh nyata dari bagaimana prinsip-prinsip etika komunikasi dilanggar.