Mohon tunggu...
Kathleen C. G.
Kathleen C. G. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Kelapa Sawit, BPDPKS, dan B40: Solusi Keberlanjutan Lingkungan dan Ekonomi Indonesia

25 Oktober 2024   21:42 Diperbarui: 25 Oktober 2024   21:49 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Top 5 Negara Tujuan Ekspor Biodiesel Indonesia Terbesar Periode 2012-2022 (Sumber : ITC Trademap, 2023)

Apakah kalian merasa cuaca tahun ini jauh lebih panas dari biasanya? Kalian sangat benar! Layanan iklim Eropa Copernicus menyatakan bahwa musim panas 2024 adalah musim terpanas yang pernah tercatat di dunia dalam sekitar 120.000 tahun, dengan suhu rata-rata global setinggi 16,82 derajat Celsius. Mungkin angka ini terkesan remeh, namun faktanya ia mengakibatkan gelombang panas ekstrim di negara-negara Asia Tenggara yang memakan korban jiwa, dengan lonjakan suhu tertinggi 53 derajat Celcius di Iba, Filipina pada 28 April 2024. Kenaikan suhu ekstrem ini disebabkan oleh peningkatan tak terkontrol dari gas rumah kaca yang semakin mengacaukan iklim bumi. Dampaknya pun sangat terasa bagi negara Indonesia, mulai dari kekeringan hingga gagal panen di sejumlah daerah di Jawa dan Sumatera yang membuat Indonesia kekurangan hampir 4 juta ton beras berdasarkan perhitungan Kementerian Pertanian. Rakyat pun banyak menderita karena harga sembako yang naik.

Grafik suhu udara rata-rata Indonesia bulan Mei (Sumber : BMKG)
Grafik suhu udara rata-rata Indonesia bulan Mei (Sumber : BMKG)
Solusi yang nyata diperlukan untuk mewujudkan zero emission demi mencegah dampak lebih lanjut efek gas rumah kaca terhadap masyarakat. Untungnya, Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA tidak perlu mencari jauh-jauh. BPDPKS dan kelapa sawit adalah kunci dari meminimalisir emisi gas rumah kaca sekaligus meningkatkan perekonomian negara.

Menurut BMKG, salah satu faktor utama penyebab peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer adalah pembakaran bahan bakar fosil (BBM). Pada tahun 2022 saja, Indonesia menghasilkan 1,3 gigaton emisi CO2, dengan 50,6% emisi berasal dari sektor energi yang didominasi mobil dan sepeda motor berbahan bakar BBM. Meskipun motor dan mobil listrik sudah diperkenalkan di pasar Indonesia, transisi dari kendaraan berbahan bakar BBM ke listrik akan memakan waktu yang terlalu lama. Kita membutuhkan solusi yang lebih praktis dan langsung berdampak nyata. Disinilah kelapa sawit bersinar sebagai liquid gold.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menemukan bahwa bahan bakar nabati berbasis sawit adalah yang paling rendah emisi gas rumah kaca. Hal ini dikarenakan pembakarannya tidak meningkatkan kadar karbondioksida di atmosfer, melainkan hanya mengembalikan CO2 yang sebelumnya diserap lewat fotosintesis. Maka BBN berbasis sawit bisa disebut sebagai karbon netral.

Penggunaan BBN berbasis sawit juga sangatlah produktif secara ekonomi. Hal ini tidak mengherankan apabila kita mengingat mahalnya impor minyak bumi dimana BPS mencatat Rp 145,8 triliun untuk impor migas RI selama Januari-Maret 2024, serta posisi kita sebagai produsen crude palm oil (CPO) alias minyak kelapa sawit mentah terbesar di dunia, dengan output sebesar 50,07 juta ton pada tahun 2023. Dengan menjadikan CPO sebagai bahan bakar nabati, Indonesia bisa menurunkan emisi gas rumah kaca sekaligus menghemat banyak uang karena menambah nilai jual dari potensi kelapa sawit yang sudah kita miliki. Bahkan, biofuel dan bioetanol dari kelapa sawit juga dapat diekspor ke pasar luar negeri yang terus bertumbuh. Selama periode 2009-2022, volume ekspor biodiesel Indonesia telah meningkat dari 70 ribu kiloliter menjadi 419 ribu kiloliter. Pada 2018 saja, Indonesia mampu mengekspor biodiesel senilai US$305 juta, atau sekitar Rp 4,75 triliun. Angka yang besar ini menunjukkan potensi BBN berbasis sawit sebagai salah satu sumber pendapatan negara apabila diolah dengan benar.

Top 5 Negara Tujuan Ekspor Biodiesel Indonesia Terbesar Periode 2012-2022 (Sumber : ITC Trademap, 2023)
Top 5 Negara Tujuan Ekspor Biodiesel Indonesia Terbesar Periode 2012-2022 (Sumber : ITC Trademap, 2023)
Untuk mengolah potensi kelapa sawit Indonesia secara maksimal, peran Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sangatlah vital. BPDPKS adalah unit organisasi noneselon yang bergerak dalam bidang pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit sesuai dengan arahan dan program pemerintah. Ia sendiri berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kementerian Keuangan untuk mewujudkan program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan. Sejak berdiri pada 2015, BPDPKS telah banyak berkontribusi terhadap Indonesia lewat mendorong riset dan peningkatan ekspor produk kelapa sawit sambil memperhatikan aspek lingkungan dengan program replanting, Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), dan regulasi yang mencegah kebun sawit liar.

Salah satu kesuksesan BPDPKS yang perlu ditekankan adalah mampu menciptakan transisi bahan bakar yang efektif dari BBM ke BBN dengan memperkenalkan B30, yaitu campuran dari 70% solar dan 30% biodiesel berbasis kelapa sawit. Berdasarkan data Kementerian ESDM, selama tahun 2022, B30 mampu menghemat devisa negara sebesar lebih dari Rp 122 triliun berkat penurunan impor BBM sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 27,8 ton CO2. Tak hanya berhenti disitu, pemerintah akan memperkenalkan B40 pada 1 Januari 2025 dengan harapan akan hasil yang lebih besar. B40 diperkirakan akan menurunkan impor solar sebanyak 40%, membuat Indonesia menghemat devisa lebih dari Rp 200 triliun. Implementasi dari program B40 juga dapat menyediakan lapangan kerja baru di dalam bidang perkebunan kelapa sawit sekaligus industri pengolahan biodiesel.

Biodiesel B40 mulai diuji di Indonesia sejak 2022. Foto : Antara Foto / Akbar Nugroho Gumay
Biodiesel B40 mulai diuji di Indonesia sejak 2022. Foto : Antara Foto / Akbar Nugroho Gumay
Indonesia sudah siap secara bahan baku, teknologi, maupun dukungan dana dan kebijakan dari pemerintah untuk memanfaatkan kelapa sawit. Buktinya, Indonesia sudah mencapai B40 disaat negara-negara lain masih hanya B7 & B10. Meski begitu, nyatanya hanya 10% dari kelapa sawit sudah dimanfaatkan sepenuhnya, padahal bagian dari sawit yang tak terpakai juga dapat diproses menjadi produk bernilai jual seperti serat dan bioethanol. Untuk memaksimalkan pemanfaatan potensi kelapa sawit, diperlukan kerjasama antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, dengan BPDPKS memegang peran utama dalam riset dan edukasi biofuel juga pemanfaatan ‘limbah’ kelapa sawit. Diperlukan juga regulasi yang memastikan penyerapan tenaga kerja di daerah sekitar perkebunan, misalnya dengan melarang otomatisasi lahan yang berlebihan. Selain itu, ada baiknya apabila Indonesia bekerjasama dengan ASEAN untuk ekspansi industri biodiesel agar target zero emission dapat tercapai secara global. BPDPKS harus memastikan perkembangan industri kelapa sawit ke arah perekonomian dan lingkungan yang berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun