Di era pandemi, perkuliahan bernuansa daring menjadi solusi yang tepat sekaligus dapat disiasati sebagai penguatan dalam dunia pendidikan, yakni mengupayakan ketaktersampaian informasi atau materi perkuliahan, membaca karakter masing-masing mahasiswa, dan menguak potensi mahasiswa secara tidak langsung. Di sisi lain, bias yang ditimbulkan dari perkuliahan daring, yakni sulit dilacak bahkan membuka ruang manipulasi seirama kemuktahiran media belajar virtual. Gejala ini jangan sampai terabaikan agar tidak menjadi pemicu munculnya pola pikir dan pola tindak mahasiswa ke arah pasraisme.
Potret perkuliahan daring
Potret perkuliahan daring menggambarkan aktivitas mahasiswa cenderung stagnan, banyak bermain-main dengan copypaste, dan nalar mereka terbelenggu oleh kesakralan internet. Mereka ada tetapi tidak mengada. Mereka mengisi kehadiran, menjawab pertanyaan, merespon balik, menanggapi setiap stimulus yang diberikan dosen pengampu. Akan tetapi, ide-ide yang mereka lontarkan, kata-kata yang mereka rangkai, data-data yang mereka sajikan, dan argumen yang mereka tawarkan sebatas daur ulang dari sumber belajar online atau hasil literasi gaya retroaktif. Mereka ada dalam keterpasungan labirin dunia maya.
Dekontruksi makna ada dan mengada
Dalam konteks perkuliahan daring, keberadaan diri bukan sekadar ada, namun keberadaan diri ditandai oleh adanya sinergisitas antara pola pikir dan pola tindak yang mengada. Mahasiswa tidak hanya bertumpu pada olahan kognisi, namun mewarnainya dengan olahan psikomotorik dan afeksi. Ketiga olahan tersebut diramu, diracik, dan diperas sedemikian rupa untuk menghasilkan saripati berupa gagasan yang tajam dan ide yang menukik.
Mahasiswa yang aktif dan kreatif melakukan pengolahan gagasan atau ide menunjukkan adanya aktivitas mengada dalam perkuliahan daring. Dengan kata lain, mahasiswa yang mengada tidak terjebak dalam nuansa plagiasi, manipulasi, dan keburaman validasi interpretasi.
Dekonstruksi makna ada dan mengada berujung pada perolehan hasil perkuliahan daring berwawasan lokal, glokal, dan global. Fenomena perkuliahan pun banyak diwarnai oleh serapan beragam pengetahuan, misalnya pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metafisis atau metakognitif.
Dekontruksi makna ada dan mengada dalam konteks perkuliahan daring berorientasi pada terciptanya kerangka berpikir tingkat tinggi melalui komunikasi, kreativitas, kerja sama, dan berpikir kritis secara integral atau menyeluruh. Inilah impian perkuliahan daring yang ideal. Semoga perkuliahan daring yang kita jalani berada dalam impian itu.
Kata ada bukan sekadar hadir atau terlihat dalam perkuliahan daring tetapi hadir dengan aktivitas literasi, yakni berbahasa, berpikir, dan berbudaya. Aktivitas literasi mengisyaratkan sesuatu yang mengada. Dengan kata lain, dekontruksi makna ada dan mengada dalam konteks perkuliahan daring sejalan dengan aktivitas mahasiswa yang melibatkan kemampuan literasi, pengetahuan, keterampilan, sikap, dan penguasaan terhadap teknologi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H