Bila terselenggara penghargaan sekelas nasional -- boleh pun mencapai internasional -- untuk siapa insan yang layak menyandang predikat sebagai orang baik, tampaknya Paimo akan menyabet gelar pemenang berturut-turut, sekalipun tidak, minimal menjadi nomine. Boleh jadi namanya melambung tenar karena untuk level nasional, berbagai media tertarik meliputnya, meskipun tidak setertarik meliput kabar orang jahat. Ini bukan dugaan, lantaran akhir-akhir ini, demikian yang dipandang Lastri di teve. Lastri ingin jadi orang jahat saja, tidak seperti Bapaknya, Paimo.
Kalau ada yang ingin tahu siapa orang pertama yang datang ke rumah tetangga yang keluarganya baru saja meninggal, jawabannya sama dengan siapa yang paling terakhir pulang dari gereja setiap ibadah Minggu.Â
Tidak ada bedanya pula yang terjadi pada sosok itu ketika pengumuman kerja bakti menjelang Agustusan di RT terdengar lantang lewat toa masjid. Secepat kilatan cahaya, begitulah hatinya tergerak. Ia langsung lupa diri dan mengingat orang lain.
"Gusman, santai saja jalannya, kayak kamu baru pertama kali di sini!"
"Sudah beres itu. Kita tinggal ongkang-ongkang kaki!"
"Justru karena itu, saya tidak enak hati," jawab orang yang disapa Gusman itu setelah kepalanya menengok ke belakang, memandang empat pemuda yang santai nian langkah kakinya.
Gusman menyegerakan diri menuju balai warga. Dari kejauhan, samar-samar terbayang seseorang berumur sepertiga abad di halaman balai. Tangan kanannya mengayunkan sapu lidi sementara tangan kirinya memegang pengki.Â
Seperti kebanyakan orang, punggungnya membungkuk. Suara srek-srek daun-daun cokelat kering yang terseret menyatu bersama garukan ujung lidi di jalan.
"Kapan kamu datang? Cepat sekali?" ujar Gusman.Â
Sebetulnya Gusman tak perlu bertanya lantaran orang se-RT pasti tahu jawabannya, tak terkecuali dirinya. Namun, Gusman tak berhasil menemukan pertanyaan basa-basi lain tersebab dirinya tak sempat lagi berpikir karena lelah dari tadi capek berlari.
Gusman pun sebetulnya tahu, lelaki di depannya tak pernah segera menjawab. Sebelum halaman balai bersih dari segala noda, bibir tebal lelaki itu yang berwarna hitam terus tertutup rapat. Lagi-lagi, itu pun tak sempat dipikirkannya sehingga ia telanjur sedetik kecewa karena pertanyaannya dibiarkan lalu begitu saja.