"Terpesona, aku terpesona, memandang memandang wajahmu yang manis. Terpesona aku terpesona, menatap menatap wajahmu yang manis. Bagaikan mutiara, bola matamu, bola bola matamu. Bagaikan kain sutra, lesungnya lesungnya pipimu..."
Terdengar suara kaki berderap-derap. Bentangan barisan hitam berjejer rapi di sela-sela kaki meja. Pemimpin barisan paling depan berhenti, menghadapkan kepalanya ke belakang.
"Kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, yang rapi jalannya!"
Ia terus menatap barisan di belakangnya. Mula-mula yang tepat di belakangnya, nomor dua kemudian, agak ke tengah, sampai paling ujung. Matanya sigap mengukur panjang barisan, berharap tak ada yang melenceng pun tak ada yang hilang.
Sebagai kepala pekerja yang baru ditunjuk kemarin, ia merasa bersalah jika tak menggunakan kewenangannya secara baik. Tidaklah mudah ditunjuk untuk berjalan paling depan. Pengalaman dan pelatihan yang sudah terbukti adalah dasar pemilihan yang utama.
"Mari bentuk lingkar. Cepat-cepat! Jangan lambat-lambat!" serunya dengan kencang. Kedua sungut di kepalanya bergerak-gerak. Samar-samar ia sempat melihat ada sesuatu tergeletak jauh darinya. Anggota barisan secepat kilat melaksanakan perintah.
"Kita hanya punya waktu paling lama lima menit. Kalian lihat itu jam dinding," mata kepala pekerja beralih tepat ke atas lemari kayu. Rombongan barisan pun serempak melakukan hal sama. "Kalau jarum panjangnya sudah bergeser dari angka satu ke dua, pertanda waktu sudah habis. Kita harus cepat kerjanya."
Seorang pekerja menggerak-gerakkan kedua sungut, pertanda ingin tahu sesuatu.
"Kenapa harus lima menit, komandan?"
Kepala pekerja berdeham-deham.