Sudah dibawa ke dokter, tak ditemukan penyebab sakitnya itu. Pengobatan alternatif lewat orang pintar dilalui, pun tak kuasa memadamkan histeria tangis dadakan. Apakah si bayi sedang memberi pertanda? Pada sisi lain, orang-orang zaman dulu ada yang percaya, jangan terlalu berat memberi nama. Demikianlah si Kakek.
"Kayaknya dia keberatan menyandang nama Kennedy itu. Kita harus adakan upacara untuk mengganti nama."
Karena umur Kakek lebih tua dan kebiasaan bahwa tidak sependapat dengan ucapan orang lebih tua diartikan melawan, tidak ada salahnya bagi orangtua bayi itu mengiyakan. Terkadang juga mengiyakan perkataan orangtua dipercaya sebagai salah satu upaya membahagiakan mereka, yang barangkali tak akan lama lagi hidupnya di dunia.
Acara syukuran sederhana digelar. Keluarga, kerabat, tetangga, semua diundang, bertugas layaknya saksi. Lantunan doa penuh puja dan harap berkumandang. Daging ayam, kambing, pun sapi yang sudah dimasak gulai tersedia sebagai jamuan. Orang-orang lantas menyantapnya belum lama setelah Kakek menyemburkan air yang sudah dikumur tepat ke muka si bayi dan berucap, "Namamu sekarang Altheya." Dalam bahasa Yunani, Altheya berarti penyembuh.
Seperti artinya, Kakek berharap Altheya sembuh. Sejak pergantian nama, lagi-lagi entah kenapa, harapan benar-benar jadi nyata. Altheya tumbuh sehat. Kulitnya kembali cokelat kemerah-merahan. Altheya hanya menangis ketika lapar dan ingin buang air. Altheya besar menjadi anak yang dibanggakan.
Altheya, bayi itu, sekarang sudah jadi anak remaja. Menulis adalah kegemarannya, lebih tepatnya mengarang. Ia membuka sebuah blog sederhana berisi tulisan-tulisannya. Awalnya, lewat tulisan itu, ia hanya ingin mencurahkan unek-unek di pikiran dan kisah-kisah kehidupan yang menyelimuti perasaan.
Semakin ke sini, ia berpikir, mengapa itu tidak dibuat sebuah karya? Kali-kali saja, ada yang suka membaca cerita-cerita pendeknya. Kali-kali saja, ia bisa terkenal karena karya-karyanya. Kali-kali saja, (ini yang sebagian besar orang dianggap paling penting) ada yang merasa senasib dan terinspirasi seusai mengikuti cerita hidupnya.
Betapa tidak mengagetkan, pikiran itu juga hinggap di pikiran para penulis cerita pendek lainnya. Berjuta-juta cerita pendek beragam genre, beraneka gaya cerita, ditulis dan disebarkan oleh para penulis cerita pendek, di berbagai blog, ruang-ruang diskusi sastra, media massa, sampai masuk ke sekolah-sekolah tempat belajar.
Persaingan begitu ketat. Cerita pendek yang ditulis Altheya serasa tenggelam dalam lautan. Siapa Altheya, sehingga orang-orang mau membaca ceritanya? Bukankah layaknya beli kucing dalam karung, membaca cerita seorang penulis yang tidak diketahui reputasinya?
Altheya tak tinggal diam. Ia lantas mengikuti pelatihan menulis cerpen. Lewat temannya, ia membuka koneksi dan menjalin hubungan dengan penulis cerpen lainnya, salah satunya bernama Y. Edward Horas S., penulis cerpen di Kompasiana.
Semangatnya terus berkobar untuk mencari nama. Ia terdaftar sebagai peserta dalam lomba-lomba penulisan cerpen. Penghargaan-penghargaan sastra setingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, bahkan nasional, tak lepas diikutinya. Altheya gigih menuntut ilmu penulisan cerpen, segigih itu pula terus mengirimkan cerpen-cerpen ke meja redaktur koran.