...Aku berdiri termenung. Kau memandangku dengan tatapan sayu. Kau mendekatiku. Langkahmu perlahan. Tiba-tiba kau menempelkan pipimu di pipiku. Bibirmu berusaha mengecup bibirku. Kau mengulang kisah dulu. Dadaku kembali menggebu...
Di atas adalah ilustrasi cerpen dengan pemeran aku dan kau. Tidak ada sebut nama di sana. Tidak ada orang ketiga. Keduanya kata ganti orang pertama dan kedua. Tunggal, sendirian.
Kata ganti orang pertama tunggal bisa juga: saya, diriku, daku, dan hamba. Kata ganti orang kedua tunggal boleh pula: kamu, dikau, dan engkau.
Dari sekian cerpen yang telah saya baca, beberapa pengarang hanya menggunakan kedua kata itu sebagai pemeran. Dari sekian cerpen yang sudah saya tulis, saya pernah juga menggunakan cara sama.Â
Pada dasarnya, dalam kepengarangan, pengarang bebas menentukan tokoh. Bebas bercerita dari sudut pandang orang keberapa. Bebas pula menghadirkan berapa jumlahnya.
Namun, ada keunikan sendiri jika tokohnya hanya memakai kata ganti orang pertama tunggal dan kedua tunggal. Aku dan kau. Saya dan Anda. Betapa terasa berbeda. Ada kemenarikan di sana.
Ketika pembaca membaca "aku", ia seperti turut berperan
Saya tidak tahu, kisah siapa yang diceritakan pengarang dalam cerpennya. Yang paling tahu pengarang sendiri. Kisah seorang perempuan bisa saja diceritakan benar-benar layaknya seorang perempuan di kehidupan nyata, meskipun pengarangnya laki-laki.
Ketika pembacanya seorang perempuan, ia akan cepat merasakan emosi cerita setelah membaca kata "aku". Sebagai sesama perempuan, ia secara tidak langsung memosisikan diri ikut berperan dalam kata "aku". Jika pernah mengalami hal sama, lebih cepat lagi.
Ketika pembaca membaca "kau", ia juga seperti turut berperan
Pada posisi kata ganti orang kedua, pembaca seolah-olah juga diajak berperan. "Kamu", "Saudara", dan "Anda" seperti menyapa pembaca.Â
Pembaca dituduhkan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang menguntungkan atau merugikan tokoh utama (aku). Pembaca ikut bermain dalam cerita. Rasakan kembali petikan ilustrasi cerpen di pembuka tulisan ini.
Kata "aku" dan "kau" secara tidak langsung bisa menyiratkan pengarang dan pembaca
Khusus cerpen-cerpen cinta atau yang bermain sangat emosional, emosi pembaca lebih mudah dipancing dengan kedua kata ganti itu. Entah, pembaca memiliki kondisi yang sama sebagai "aku" atau "kau".
Berbeda cerita jika cerpen mengulas orang ketiga, semisal menyebut nama. Pembaca hanya berposisi sebagai benar-benar pembaca, menyaksikan kisah orang lain sedang diceritakan. Pembaca berada di luar "ring", tidak masuk dalam cerita.
Terjadi hubungan intens antara keduanya
Ketika "aku" dan "kau" terus ditulis dan dibaca ulang, muncul hubungan intens antara keduanya (pengarang dan pembaca). Pemeran sama-sama tunggal. Cerpen terasa milik berdua. Mesra sekali.
Tidak ada orang lain. Ini contohnya seperti cerpen yang merupakan sebuah surat dari seseorang (aku) kepada yang dirindukan (kau). Orang itu (bisa pengarang sendiri) mengulang kisah-kisah cinta dan perasaan ingin bertemu. Pembaca seolah-olah menjadi orang yang sedang dirindukan.
Akhir kata...
Jika kita malas memasukkan banyak tokoh dalam cerpen atau bingung mencari nama seseorang agar tidak dimaksudkan sedang membicarakannya, pakai saja pemeran "aku" dan "kau".
Justru, ini ada kekuatan menonjol. Pengarang tidak sedang asyik sendiri dalam cerpennya. Pembaca pun tidak sekadar membaca dan tahu cerita orang lain. Keduanya bisa bertemu dan bermain mesra dalam dunia cerpen.
...Aku tidak menyangka, bibirmu benar-benar mengecup bibirku. Kau memejamkan mata. Kulihat lagi, lentik bulu matamu. Wajahmu begitu tenang. Kau seperti tidak peduli dengan apa yang sedang menimpamu. Jikalau aku, kau rasa, bisa menjadi penenangmu, aku rela, terus hadir di sisimu.
...
Jakarta,
8 November 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H