Desaku terbilang modern. Pemikiran orang-orangnya sudah maju. Debat antarwarga sekadar di warung bubur kacang hijau begitu bermutu. Tidak ada sesat pikir dan sumbu pendek.Â
Namun, untuk satu hal ini, mereka tidak mau bersusah payah mencari logika atasnya. Mereka terima saja, sebagai kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang, yang tetap lestari sampai sekarang.
Jika kau mendengar ada seseorang meninggal, persiapkanlah dirimu beberapa saat setelahnya. Ingatlah apa yang telah kau lakukan pada mendiang. Kali-kali saja, bila kau tidak sempat meminta maaf karena telah berbuat jahat padanya, hidupmu akan usai sepertinya. Sering secara tiba-tiba.
Begitu kata ibu dan semua tetua yang kujumpai di desaku. Mereka serempak bercerita demikian, serempak pula mereka mengharuskanku untuk sekadar yakin saja, tanpa banyak bertanya.
Waktu kecil, mau percaya atau tidak, memang begitu adanya. Tidak ada yang tidak percaya bahwa orang yang meninggal pasti membawa teman, entah siapa itu, hanya yang meninggal yang tahu.
Seorang kakek yang sakit-sakitan tepat di belakang rumahku akhirnya meninggal bersama istrinya, sama-sama berbaring di atas tempat tidur. Kupikir, mereka berdua meninggal karena sama-sama sudah tua. Barangkali pula, si nenek tidak ingin ditinggal sendirian di dunia. Dari dulu memang kudengar dan semua warga tahu, mereka berdua mesra sekali, ke mana pun pergi.
Meskipun sudah tua, kakek itu masih kuat membonceng si nenek ke pasar. Setiap jalan pagi, mereka bergandengan tangan mengelilingi pelataran sekitar rumah. Para tetangga sering tersenyum. Beberapa terpukau dengan kesetiaan cinta mereka. Jarang-jarang, bisa awet tidak menikah lagi -- terutama para lelaki -- jika tua sudah menjelang.
Tepat setelah sehari kakek itu meninggal, belum sempat dikuburkan karena menunggu cucu-cucunya, sang nenek tergeletak begitu saja di sampingnya. Ibu-ibu yang mengunjungi rumah mereka sontak terkaget-kaget. Kegiatan layat otomatis diadakan lagi. Untung, tenda di depan rumah bekas acara perkabungan kakek belum dibereskan.
Para warga percaya, kakek mengajak nenek itu meninggal, karena tidak suka jika nanti ia tidak ada, nenek tiba-tiba saja menikah lagi dengan orang lain. Ternyata, selama ini dalam kemesraan mereka, kakek memendam curiga.Â
Apakah cinta bisa tetap terjaga utuh ketika salah satu sudah meninggal? Bukankah seseorang pasti butuh teman hidup sekadar untuk bercerita? Jangan-jangan nanti ada pengganti. Kakek tidak ingin, nenek pindah ke lain hati. Begitulah obrolan dari tetanggaku suatu saat.