Meskipun kota itu bisa berbangga dengan berbagai gedung megah, jalanan yang terbangun panjang, jembatan yang kokoh membentang, dan infrastruktur lain yang tidak kalah mewah, seolah-olah peradaban modern sudah mampu membuat para penduduknya bertahan dan semakin maju dalam mempertahankan kehidupan, tetap saja, mereka tidak bisa melepas ketergantungan pada sebuah desa yang berjarak sepuluh kilometer ke arah selatan dari batas kota itu.
Hanya desa itu, tidak dengan desa lain. Ya, percaya atau tidak, hanya desa itu yang bisa menghasilkan beras setiap bulan tanpa terganggu keadaan apa pun. Stok beras dipasok tiada henti, diantar dengan truk-truk besar, singgah ke para pengepul, lantas berakhir di toko-toko kelontong sepanjang liku-liku sudut kota.
Beras, tiada lain selain beras, hanya beraslah yang mampu membuat orang bertahan untuk berpikir bagaimana rumitnya membangun konstruksi gedung, memilih dan memilah bahan terbaik untuk mengaspal jalan, kemudian membentuk desain apik dalam merancang jembatan. Beras tidak bisa diabaikan sebagai salah satu bahan utama yang selalu dicari-cari orang, dan selalu saja orang tidak bisa melewatkannya dalam setiap hidangan, berapa pun harganya.
Desa itu tidak terlalu luas, tetapi petak-petak sawah di sana sudah mampu menghidupi seluruh penduduk kota, dari bulan ke bulan. Jika ditelaah lagi, persediaan beras yang selalu berhasil disediakan setiap saat ke kota bukan karena para petani di sana punya teknologi maju untuk menanam padi, bukan pula karena bibit padi terpilih dan berkualitas terbaik yang mereka tanam.
Tetapi, ada sebuah kepercayaan yang berkembang, bahwa setiap petani di sana tidak bisa meninggalkan sawahnya, selalu setia menjaga sawahnya, memberikan upaya terbaik untuk menggemburkan tanah sawah dan memupuknya sehingga selalu subur setiap saat.Â
Seluruh petani menganggap sawah adalah sebagian jiwa mereka. Terdengar kabar pula, hampir semua petani yang meninggal karena usia tua, meminta dikuburkan pada salah satu petak di sawah mereka. Karena cinta mereka begitu luar biasa, barangkali tidak heran, tanah-tanah sawah itu seperti ingin memberikan yang terbaik pula, dengan lebih cepat menumbuhkan setiap bibit padi yang tertanam, memberikan nutrisi pada setiap batang dan kulit, sehingga padi-padi itu tumbuh besar lebih cepat dari biasanya.
Cinta para petani terhadap sawahnya terus bertahan, bahkan meski tubuh sudah bersatu dengan tanah. Roh para petani dipercaya masih berkeliaran di sekitar sawah, terbang pada malam hari, dan waktu siang, mereka hinggap di orang-orangan sawah, yang selalu saja ada dan pasti sengaja dibangun, menjadi sebuah pemandangan tidak asing ketika orang hendak berkunjung ke sawah. Di seluruh sawah di desa itu, orang-orangan sawah terpancang pada setiap jarak dua ratus meter. Ada yang di tengah, agak ke pinggir, ada pula paling tepi.
Roh petani itu tetap tidak ikhlas melihat bulir-bulir padi yang sebentar lagi menguning, rusak karena berbagai hama, barangkali wereng, tikus, burung-burung pemakan biji-bijian, dan binatang-binatang kecil berwarna hitam yang selalu beterbangan.
Dalam boneka berkepala buntalan jerami yang mengenakan kaus rombeng dan selalu lusuh, bertopi cokelat, dengan kedua tangan terbentang -- juga terbuat dari jerami -- diikatkan pada sebatang bambu yang tertancap ke tanah, roh itu akan mengamati ke mana arah hama pergi, menggerakkan tangan panjang mereka ke kanan kiri, menghalau dan terus menghalau sebisa mungkin, secara serempak dalam jarak berdekatan. Ketika angin berembus kencang, boneka itu seperti terlihat digerakkan dan diayun-ayunkan dalam buaian.
Jika beruntung dan sudah dikenal baik -- tentu karena telah tinggal lama di sana -- boneka-boneka itu bisa diajak mengobrol. Mereka lebih dulu memperhatikan siapa yang datang di dekatnya, mengingat benar apakah ia seorang pengganggu atau anak baik-baik, lantas bila sudah yakin, secara perlahan bibir boneka yang awalnya tersungging seperti memberi senyum, akan bergerak-gerak, mengeluarkan suara.