Kendati baru satu setengah tahun di Kompasiana, boleh dibilang saya bukan anak baru kemarin dalam tulisan fiksi terutama kanal cerpen. Dibilang anak yang sudah mahir, masih jauh dari pantas. Kalau disematkan gelar anak yang sedang belajar, saya suka.
Banyak cerpen saya tertulis di sini. Sebagian besar saya bukukan menjadi enam buku antologi cerpen. Semuanya antologi pribadi, tidak ada yang bercampur dengan karya pengarang lain. Ini bukan berarti saya individualis dalam menulis cerpen.
Di samping itu, hasil belajar saya banyak tertuliskan pula. Jika mengukur nilai kebermanfaatannya, barangkali cukup membantu sebagian orang dalam menulis cerpen.Â
Dari kualitas, tentu dianggap layak dan baik jika sudah tersemat label AU. Baik cerpen maupun hasil belajar, keduanya beberapa menyabetnya.
Pasti sudah seratusan lebih cerpen saya. Saya tidak ingat berapa tepatnya. Pada setiap cerpen, sebagian besar konsisten menyajikan tulisan minimal seribu kata. Berupaya pula menghadirkan semua unsur cerpen sebaik-baiknya.
Ya, semakin ke sini, saya tidak pernah asal-asalan menulis cerpen. Saya harus belajar, menemukan ide baru, mengeksekusinya jika semua "amunisi" sudah lengkap.Â
Saya pernah sampai pada titik jenuh. Sesekali nafsu membaca cerpen hilang. Mendengar cerpen dari rekaman media sosial pun ogah. Saat itu, saya ingin berhenti menulis cerpen. Kira-kira adakah yang kehilangan?
Saya jawab pasti ada. Saya belum mendengar pendapat Anda. Tetapi, saya yakinkan ada. Siapa? Saya sendiri. Saya pasti kehilangan:
kesukaan
Apalah yang bisa menjadi motivasi seseorang bertahan di dunia selain cinta dan kesukaan terhadap sesuatu? Kendati sebagian hal tidak perlu alasan untuk melakukannya, sebagian besar lainnya perlu kesukaan untuk melakukannya lebih serius.
Jika sudah suka, orang akan menekuninya dan melakukan apa pun untuknya. Termasuk memberi waktu khusus mengerjakannya. Menyelesaikan dengan sebaik-baiknya.