Hai diari, saya ingin bercerita tentang seseorang. Beliau saya anggap dan nilai telah memberi inspirasi kepada saya tentang sastra. Saya perlu memberitahu Anda, barangkali Anda juga ingin belajar darinya. Dengarkan cerita saya berikut, ya, Diari.
Sejauh ini komentar...
Jujur, sejauh amatan saya, para Kompasianer jarang bahkan mungkin langka memberikan komentar secara objektif di tulisan-tulisan fiksi. Yang memberi apresiasi dengan penilaian subjektif, tidak terhitung banyaknya.
Apakah Kompasianer begitu baik sehingga tidak ingin melukai hati orang dengan mengungkap kekurangan karya yang perlu disempurnakan? Atau Kompasianer belum tahu cara menilai karya secara objektif? Barangkali pula, ingin menjaga suasana kondusif untuk menulis di Kompasiana.
Saya pribadi akhir-akhir ini belajar mulai disiplin memberi komentar -- tidak sembarang komentar -- dengan mengulas apa yang ternilai baik berdasarkan hasil pembelajaran autodidak saya seputar cerpen.
Saya pun pernah mendapat kritik dari seorang Kompasianer. Kritik itu selalu saya ingat -- saya berterima kasih padanya -- karena itulah titik tolak yang memacu saya belajar cerpen.
Kritik tidak selamanya buruk
Kritik tidak selamanya buruk. Kritik yang bersifat objektif, dihasilkan dari latar belakang keilmuan yang telah dipelajari, bukan dari rasa suka maupun tidak suka semata, adalah sangat baik untuk membangun.
Terutama bagi para penulis yang belum belajar teori. Di sini, bukan berarti mengekang imajinasi dan materi tulisan, saya sempitkan dalam karya fiksi.
Tetapi, ada memang kaidah-kaidah yang perlu dipatuhi dan seharusnya tidak dilanggar. Contoh kecilnya saja seputar KBBI dan PUEBI. Adakah yang disiplin membaca keduanya sebelum menulis?
Segitiga relasi