Barangkali Anda sering bahkan suka menonton acara diskusi di televisi yang membahas apa saja yang sedang hangat diperbincangkan warganet. Diskusi itu lebih menarik jika menghadirkan narasumber andal.
Mereka dibayar untuk berbicara sesuai kapasitas. Di antara mereka, banyak yang berprofesi sebagai pengamat di bidang masing-masing. Membaca, menonton, mengamati, menganalisis, lantas membuat karya berupa hasil amatan berbentuk opini berdasarkan logikanya.
Mereka bisa menjelaskan detail hal-hal yang telah, sedang, dan akan diamati. Barangkali yang telah dan sedang, langsung berdasarkan pengamatan objektif. Sementara yang akan, masih seputar angan-angan, karena imajinasi yang menggambarkan.
Demikianlah cerpen. Sebagian besar cerpen bercerita tentang masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ada yang hanya satu. Ada yang dua. Ada pula ketiganya.
Untuk menceritakan itu, pengarang yang apik tentu adalah seorang pengamat yang teliti. Ia tidak akan membiarkan kalimat demi kalimat dalam cerpennya hadir tanpa guna, alias tidak menjelaskan apa-apa. Beberapa hal berikutlah yang biasa diamatinya:
pengamat objek cerita
Pengarang harus tahu salah satu atau beberapa di antara apa, bagaimana, mengapa, kapan, di mana, dan siapa yang hendak diceritakan. Baik subjek maupun objek cerita, kebiasaan, sikap, sifat, dan perilaku yang melekat diamati benar untuk membentuk penokohan.
Ada tiga cara pengamatan: bisa berdasarkan pengalaman pribadi, mengamati langsung objek lain, atau mengarang dengan imajinasi. Masing-masing bisa dicampur atau digunakan sendiri-sendiri.
Ya, jika kita ingin menokohkan seorang lelaki, kita bisa menggunakan kebiasaan kita sesama para lelaki yang tidak jauh beda dalam hal-hal tertentu, semisal: lebih suka menggunakan logika, memilih praktis dalam berpakaian, dan lebih malas dibanding wanita.
Itu bisa ditulis dalam cerpen. Mengamati benar perilaku orang lain juga bisa. Mengarang dengan imajinasi dan menambahkan hal yang tidak biasa dilakukan sangat boleh. Â
pengamat alur cerita
Sebagian besar kita tentu setuju bahwa konflik sebagai sumber ketegangan lebih menarik bila merupakan hal baru bahkan khayalan. Pembaca menikmati cerpen dan menantikan apa yang terjadi pada tokoh selepas mengalaminya.
Seberapa memikat konflik bisa menuntun pembaca membaca sampai akhir. Tetapi, tidak berarti semua bagian cerpen harus menegangkan. Beri napas pembaca dengan narasi deskripsi suasana alam atau tambahan cerita sampingan yang biasa saja.
Pengarang akan mengamati alur cerita yang dibuatnya. Semakin banyak pengalaman, ia akan gampang peka dan tahu: kapan mencetuskan konflik, kapan menegangkan konflik, kapan pula membuat pembaca beristirahat sejenak dengan sisipan cerita yang meneduhkan.
pengamat bahasa yang tepat
Setelah mengamati segala sesuatu, pengarang yang apik akan berpikir sebaik mungkin, memilih dan memilah kata dalam bahasa Indonesia yang tepat agar penyampaian ide cerita dapat maksimal ke pembaca.
Semisal, kebiasaan wanita yang suka berdandan karena tidak percaya diri dengan wajahnya. Barangkali bahasanya seperti berikut:
Wanita itu duduk di kursi di depan meja kosmetik sore itu. Ia mengambil tisu dan mengelap bulir-bulir keringat di pelipis. Setelah membersihkan muka dengan pelembap, ia mulai berias.
Ia mengambil sepasang bulu mata dan menempelkannya pada matanya yang sayu, berkelopak jatuh itu. Perlahan seusai membuka kotak kosmetik, ia menggoreskan pensil di atas matanya yang tanpa alis, dengan rapi dan begitu tebal, berbentuk miring ke atas semakin menyudut sesuai ujung matanya yang menyipit. Entah, ia tidak tahu, mengapa sejak lahir tidak punya alis.
Demikian pula dengan rambutnya. Setelah mewarnakan gincu pada bibir dan menebarkan bedak putih sedikit tipis pada pipinya yang penuh keriput meskipun masih terbilang muda, ia mengenakan rambut panjang palsu itu, menutupi kepalanya yang botak. Sehelai rambut pun tidak bisa tumbuh di kepalanya.
Sejenak ia tersenyum di depan cermin. Ia berusaha membesarkan hatinya dan meneguhkan dirinya bahwa ia tidak kalah cantik dengan wanita lain. Itulah yang hanya bisa membuat dirinya bertahan dan percaya diri di antara perkataan orang lain yang kerap menghinanya.
pengamat tulisan yang normatif
Tidak akan bosan saya menyerukan kepada Anda -- terutama ke diri saya dahulu -- bahwa semahir-mahirnya seorang penulis atau pengarang, pasti ia termasuk yang detail mencermati tulisannya.
Kaidah yang berlaku dipatuhinya. Sedikit tampilan yang salah dan mengganggu dibenarkannya. Selain menghormati keteraturan dan kedisiplinan berbahasa yang benar, ia juga sedang menyajikan tulisan terbaik kepada pembaca.
Semakin lama dan bertambah sering ia melakukan, tentu karyanya semakin berkualitas. Bahkan tulisannya bisa menjadi panduan orang lain dalam menulis dan mengarang.
Lantas, siapakah pengarang yang apik itu?
Barangkali bisa saya, bisa pula Anda. Mengapa saya katakan barangkali? Karena tidak ada pengarang yang mampu menilai sendiri tulisannya apik. Semua lebih diserahkan kepada pembaca sebagai penikmat karya.
Terkadang, pengarang bisa terlalu percaya diri dengan karyanya, merasa sudah apik dan tidak ada kesalahan. Sementara di kacamata pembaca, masih ada yang perlu dibenarkan.
Tentu, tidak lain dan tidak bukan, apik tidaknya pengarang dilihat dari karyanya. Mari kita terus menghasilkan karya yang semakin hari semakin baik kualitasnya dengan terus mengarang sembari tiada henti belajar.
...
Jakarta
28 September 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H