Seberapa galau Anda waktu hendak menyampaikan pesan moral dalam menulis cerpen? Seberapa bingung Anda memilih kata-kata yang tepat agar dirasa pembaca tidak sedang menggurui?
Kedua kejadian itu pernah saya rasakan dan menjadi pergumulan hebat dalam meracik cerpen.Â
Sebagian kita berpendapat bahwa bacaan yang lebih asyik tentu yang tidak berat-berat (mengajar kebaikan dan kebenaran). Itu sudah didapat dalam pelajaran agama atau ketika sedang beribadah.
Cerpenis diharap sebisa mungkin pintar dalam mengemasnya, apalagi jika sasaran pembaca adalah semua umur.Â
Barangkali seperti tidak pas kita menggarami lautan, terkesan memberi nasihat kepada orang yang lebih tua yang kebetulan membaca.
Para penulis artikel opini juga bergumul soal ini. Tetapi, mereka lebih diuntungkan, karena opini ada yang sekadar memberi ulasan plus minus akan sesuatu dan menyerahkan ke pembaca untuk memilihnya. Tidak ada pesan moral.
Sementara sastra (dalam hal ini cerpen) harus ada. Sastra zaman dahulu memang begitu. Keseringan pula saya mendengar sastra dalam kitab suci, yang mayoritas mengajar kebenaran.
Sejauh hasil belajar saya
Dari sekian banyak cerpen pengarang besar yang telah saya baca, saya pelajari beragam cara mereka menaruh pesan moral. Pada bagian-bagian tertentu, tiap-tiap pengarang menerakannya.
Percakapan antartokoh