"Goblok kamu!" sentak istriku malam itu. Matanya kembali memelototiku. Tangannya menunjuk ke kepalaku. Aku baru saja membuka pintu. Belum pula kulepas baju kerjaku. Perempuan di depanku kembali membahas perkara lima hari lalu. Saat terakhir kali kami tidur berdua selalu. Sekarang, aku harus tidur di ruang tamu.
Aku melepas sepatu lantas berjalan berlalu. Tak kuhiraukan omongannya yang hanya membuat kelu. Sudah tahu suami capek kerja, malah disambut begitu.
Sebetulnya bukan kali pertama aku disentaknya. Wataknya yang gampang emosi memang harus kuhadapi apa adanya sebagai konsekuensi menerimanya menjadi pasangan hidup selamanya. Tetapi, kali ini aku bersikeras tidak mau mengalah darinya.
Aku sudah lelah, setiap hari membaca berita yang membuatku hampir menyerah. Beberapa kanal televisi menyajikan berita, kerusakan di mana-mana. Hutan-hutan gundul, pohon-pohon ditebang habis betul, begitu amburadul.
Sampah-sampah bertebaran di lautan. Beberapa kura-kura tertangkap memakan benang jahitan. Hidung mereka berdarah seperti kesakitan. Sementara tidak jauh dari kediaman, beberapa warga masih seenaknya membuang tanpa berpikir bagaimana nanti ke depan.Â
Aku pernah melihat seorang bocah melempar bungkus plastik bekas tempat makanan begitu saja ke sungai yang sejak kapan berwarna hitam legam. Tentu, tidak ada lagi yang pantas disalahkan selain manusia, barangkali kita, aku dan Anda.
Tetapi, kita semuanya tidak pernah terlambat untuk memperbaikinya. Aku sudah berusaha barang sedikit, menanam beberapa apotek hidup di halaman depan rumah yang sempit. Kualihkan pandang dari dalam kamar menuju ke tanaman-tanaman di seberang jendela yang terbayang samar, karena gerimis yang tiba-tiba turun tanpa kabar.
Ada tanaman cabe yang sudah berbuah, bunga Anggrek yang mulai merekah, pun rumput-rumput hijau yang tumbuh seperti mini sawah. Petak kecil di depan rumah memang sengaja kuhijaukan di tengah keringnya pepohonan di kota tinggalku yang sesak orang dan penuh debu jalanan.
Aku memang tidak bisa menyalahkan pendapat sebagian orang yang memandang kota adalah tempat menjanjikan untuk menyambung kehidupan. Barangkali mereka punya keterampilan, itu tidak masalah dan bisa diadu mana yang paling layak mendapat pekerjaan.Â
Tetapi, bagi mereka yang datang bermodal nekat, terkadang aku hanya geleng-geleng kepala sesekali tercekat. Mulutku tidak bisa berkomentar seperti ada sesuatu yang menyekat. Berusaha memperbaiki kehidupan memang bebas pada hakikat, tetapi janganlah hanya mengandalkan besar tekad.
Aku menutup gorden jendela ini. Berhubung istriku sedang pergi setelah mendampratku tadi, aku lekas-lekas beralih ke ruang tamu, lagi dan lagi. Sebelum keluar, kutatap tempat tidurku yang sudah lama dingin. Tidak ada lagi kehangatan yang sangat kuingin. Aku rela tetap demikian, sampai istriku mau mendengar permintaan diriku yang jarang sekali meminta jika benar-benar tidak darurat adanya.
Sudah berkali-kali rumah kami kebanjiran. Air masuk menggenang tanpa aliran, membasahi lantai dan perabotan, beberapa kali rusak tidak tergantikan. Aku memutuskan membangun lantai dua, seperti tetangga-tetanggaku yang juga membangun bahkan sampai lantai tiga. Tidak sedikit kamar-kamar di lantai atas disewakan untuk indekos berbayar tergantung fasilitas, guna menambah penghasilan yang terbatas.
Ya, di kota kami, tanah-tanah sudah semakin habis. Semua ditindih dengan bangunan-bangunan beton yang jumlahnya tidak pernah menipis. Tebal, tambah tebal, begitu tebal, sampai-sampai pohon-pohon tidak mendapat tempat barang sejengkal.
Semua tanah diubah menjadi ladang uang, dibisniskan untuk mendatangkan senang, yang terkadang sampai menghadirkan kegelisahan yang takpernah lekang. Saat musim basah tiba, hujan datang begitu saja, di sisi lain tidak ada yang menyerapnya ke dalam tanah.
Itulah yang mendasari pertengkaranku dengan istriku. Ia mendesakku untuk menggunakan petakan tanah dekat rumahku, dibangun kamar-kamar berukuran kecil, bertingkat ke atas dengan setiap kamar punya kamar kecil.
"Di mana otakmu? Itu lebih untung untukku!" sentaknya semenit lalu. Ia baru datang dari luar. Di ruang tamu, aku terbangun dari sofa besar. Baru saja hendak masuk ke alam mimpi yang kuharap membuatku sedikit segar.
"Uang itu bisa dicari," jawabku seraya memegang dahi, "Tidak harus pula kita mengorbankan bumi ini."
Aku memang berencana menanam pepohonan di petakan tanah itu. Kupikir aku akan membeli bibitnya di toko tanaman pada hari Minggu. Aku sama sekali tidak bernafsu membangun beton di situ.
Orangtuaku lain lagi ceritanya, meskipun sama orientasinya. Ibuku menyarankan agar petakan tanah dibuat lahan parkir saja, di mana tetangga yang tidak punya garasi bisa memarkirkan mobilnya. Itu lumayan pula menambah pemasukan harian, katanya. Sekalian menolong tetangga, demikian tambahnya.
Aku tidak menjawab sarannya. Buat apa aku harus menolong tetangga yang mobil punya, tetapi garasi tidak punya. Mengapa logika sebagian orang terkadang aneh adanya?
"Aku hanya memikirkan masa depan anak-anak kita," kataku pelan sembari mengajak istriku duduk mengitari meja. "Bayangkan, jika bumi ini tidak ada pohon, semua hanya diisi bangunan beton, apa yang nikmat ditonton? Siang akan menjadi sangat panas. Matahari akan terasa beringas. Anak-anak kita nanti akan mati dalam sengatan ganas."
"Itu kan nanti," istriku berkilah lagi, "Biar dipikir orang-orang yang lahir nanti. Kita bicara sekarang. Tanah itu sayang jika tidak jadi uang!"
Kurasa percuma melanjutkan pembicaraan malam itu. Istriku bersikeras selalu, berpikir tentang uang, uang, dan uang. Sekilas aku teringat dengan berita yang pernah kubaca. Kukira istriku tidak ada bedanya dengan orang yang membabat hutan habis-habisan demi mencari penghasilan. Mereka merusak seenaknya, mematikan tumbuhan sesukanya, tanpa berpikir bagaimana orang-orang yang tinggal di sekitarnya.
Hari demi hari berlalu, aku tetap menjalankan apa yang kumau. Aku membeli banyak bibit tumbuhan. Aku menggemburkan tanah pada petakan. Pupuk-pupuk kusiapkan stoknya. Aku bahkan mempekerjakan beberapa orang untuk merawatnya.
Bagaimana dengan istriku? Apakah aku masih kedinginan setiap malam berlalu? Tentu, lelaki mana yang tahan tanpa sentuhan?Â
Aku memutuskan menambah pekerjaan. Aku membuka bisnis dagang pakaian dengan teman lama yang sudah lama berjualan. Entah karena kehadiran Dewi Fortuna atau kegigihanku bekerja, bisnisku berhasil rupanya.
Uang-uang yang diminta istriku dari potensi petakan tanah itu kugantikan dari situ.
Malam-malamku tidak lagi dingin. Istriku kembali tersenyum mengabulkan aku punya ingin. Yang lebih membahagiakanku, tidak terjadi banjir lagi di lingkungan perumahan kami.
Seiring semakin besar dan lebat pohon-pohon di petakan tanah, air-air hujan yang jatuh diserap ke dalam tanah. Kami tidak perlu repot beralih ke lantai dua. Perabotan pun aman tanpa gangguan.
"Bagaimana, kau masih mau marah-marah?" tanyaku genit di atas tempat tidur pada malam itu. Istriku diam membisu. Ia tiba-tiba memelukku. Ia menarik selimut di kakiku. Ia menutup tubuhnya dan tubuhku.
...
Jakarta
18 September 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H