"Itu kan nanti," istriku berkilah lagi, "Biar dipikir orang-orang yang lahir nanti. Kita bicara sekarang. Tanah itu sayang jika tidak jadi uang!"
Kurasa percuma melanjutkan pembicaraan malam itu. Istriku bersikeras selalu, berpikir tentang uang, uang, dan uang. Sekilas aku teringat dengan berita yang pernah kubaca. Kukira istriku tidak ada bedanya dengan orang yang membabat hutan habis-habisan demi mencari penghasilan. Mereka merusak seenaknya, mematikan tumbuhan sesukanya, tanpa berpikir bagaimana orang-orang yang tinggal di sekitarnya.
Hari demi hari berlalu, aku tetap menjalankan apa yang kumau. Aku membeli banyak bibit tumbuhan. Aku menggemburkan tanah pada petakan. Pupuk-pupuk kusiapkan stoknya. Aku bahkan mempekerjakan beberapa orang untuk merawatnya.
Bagaimana dengan istriku? Apakah aku masih kedinginan setiap malam berlalu? Tentu, lelaki mana yang tahan tanpa sentuhan?Â
Aku memutuskan menambah pekerjaan. Aku membuka bisnis dagang pakaian dengan teman lama yang sudah lama berjualan. Entah karena kehadiran Dewi Fortuna atau kegigihanku bekerja, bisnisku berhasil rupanya.
Uang-uang yang diminta istriku dari potensi petakan tanah itu kugantikan dari situ.
Malam-malamku tidak lagi dingin. Istriku kembali tersenyum mengabulkan aku punya ingin. Yang lebih membahagiakanku, tidak terjadi banjir lagi di lingkungan perumahan kami.
Seiring semakin besar dan lebat pohon-pohon di petakan tanah, air-air hujan yang jatuh diserap ke dalam tanah. Kami tidak perlu repot beralih ke lantai dua. Perabotan pun aman tanpa gangguan.
"Bagaimana, kau masih mau marah-marah?" tanyaku genit di atas tempat tidur pada malam itu. Istriku diam membisu. Ia tiba-tiba memelukku. Ia menarik selimut di kakiku. Ia menutup tubuhnya dan tubuhku.
...
Jakarta