Aku menutup gorden jendela ini. Berhubung istriku sedang pergi setelah mendampratku tadi, aku lekas-lekas beralih ke ruang tamu, lagi dan lagi. Sebelum keluar, kutatap tempat tidurku yang sudah lama dingin. Tidak ada lagi kehangatan yang sangat kuingin. Aku rela tetap demikian, sampai istriku mau mendengar permintaan diriku yang jarang sekali meminta jika benar-benar tidak darurat adanya.
Sudah berkali-kali rumah kami kebanjiran. Air masuk menggenang tanpa aliran, membasahi lantai dan perabotan, beberapa kali rusak tidak tergantikan. Aku memutuskan membangun lantai dua, seperti tetangga-tetanggaku yang juga membangun bahkan sampai lantai tiga. Tidak sedikit kamar-kamar di lantai atas disewakan untuk indekos berbayar tergantung fasilitas, guna menambah penghasilan yang terbatas.
Ya, di kota kami, tanah-tanah sudah semakin habis. Semua ditindih dengan bangunan-bangunan beton yang jumlahnya tidak pernah menipis. Tebal, tambah tebal, begitu tebal, sampai-sampai pohon-pohon tidak mendapat tempat barang sejengkal.
Semua tanah diubah menjadi ladang uang, dibisniskan untuk mendatangkan senang, yang terkadang sampai menghadirkan kegelisahan yang takpernah lekang. Saat musim basah tiba, hujan datang begitu saja, di sisi lain tidak ada yang menyerapnya ke dalam tanah.
Itulah yang mendasari pertengkaranku dengan istriku. Ia mendesakku untuk menggunakan petakan tanah dekat rumahku, dibangun kamar-kamar berukuran kecil, bertingkat ke atas dengan setiap kamar punya kamar kecil.
"Di mana otakmu? Itu lebih untung untukku!" sentaknya semenit lalu. Ia baru datang dari luar. Di ruang tamu, aku terbangun dari sofa besar. Baru saja hendak masuk ke alam mimpi yang kuharap membuatku sedikit segar.
"Uang itu bisa dicari," jawabku seraya memegang dahi, "Tidak harus pula kita mengorbankan bumi ini."
Aku memang berencana menanam pepohonan di petakan tanah itu. Kupikir aku akan membeli bibitnya di toko tanaman pada hari Minggu. Aku sama sekali tidak bernafsu membangun beton di situ.
Orangtuaku lain lagi ceritanya, meskipun sama orientasinya. Ibuku menyarankan agar petakan tanah dibuat lahan parkir saja, di mana tetangga yang tidak punya garasi bisa memarkirkan mobilnya. Itu lumayan pula menambah pemasukan harian, katanya. Sekalian menolong tetangga, demikian tambahnya.
Aku tidak menjawab sarannya. Buat apa aku harus menolong tetangga yang mobil punya, tetapi garasi tidak punya. Mengapa logika sebagian orang terkadang aneh adanya?
"Aku hanya memikirkan masa depan anak-anak kita," kataku pelan sembari mengajak istriku duduk mengitari meja. "Bayangkan, jika bumi ini tidak ada pohon, semua hanya diisi bangunan beton, apa yang nikmat ditonton? Siang akan menjadi sangat panas. Matahari akan terasa beringas. Anak-anak kita nanti akan mati dalam sengatan ganas."