Dari sekian banyak rumah tetangga yang baru-baru ini kudatangi, ada satu yang menarik perhatianku dan sekiranya perlu kuceritakan pada Anda. Entah, apakah Anda juga pernah menemukannya atau barangkali ini kejadian pertama yang Anda baca.Â
Jika ini adalah barang baru, setidaknya Anda tidak heran apabila nanti suatu saat mendapatinya. Lewat cerita ini, aku ingin pula Anda menilainya, siapa sebetulnya yang sedang gila.
Sebagai pendatang baru, sudah sewajarnya akulah yang harus mendekatkan diri pada orang-orang di sekitar. Aku memutuskan pindah rumah karena rumah lama harus kujual untuk menutupi utang-utang suamiku yang telah jatuh tempo. Suamiku telah meninggal, mengalami kecelakaan di jalan raya, sehingga sudah tentu aku sebagai istri wajib melunasinya.
Dari rumah pak camat, kepala desa, pak RW, pak RT, sekretaris dan bendahara PKK, semua sudah kudatangi. Berbekal beberapa potong roti bolu yang kubuat sendiri dan kubungkus rapi dalam plastik bening -- kuharap bisa membuat hubungan lebih akrab -- aku menemui mereka.
Di tempat lama, aku sudah terbiasa membawa sesuatu saat bertamu untuk menghormati tuan rumah. Apalagi jika ada tetangga sedang sakit. Aku bisa berpikir berkali-kali untuk tidak masuk ke rumahnya bahkan menunda kedatanganku menjenguknya, jika tidak ada sesuatu yang kubawa.
Kuperkenalkanlah diriku sebagai seorang janda beranak dua, bekerja di sebuah perusahaan percetakan di tengah kota. Rata-rata para petinggi dan tetangga lain memberikan senyum dan begitu ramah, menyambutku hangat. Tidak terkecuali pemilik rumah itu, satu-satunya tetangga yang rumahnya selalu ramai setiap siang.
Anak-anak kerap bermain di halaman rumahnya yang tanpa pagar. Para pedagang asongan keliling sesekali berhenti, mengelap keringat, dan duduk-duduk saling bercanda. Halaman rumah itu selalu penuh sesak dengan orang-orang yang ingin berteduh dari terik matahari.
Boleh dibilang, itulah rumah yang paling teduh di perumahan ini. Sebuah pohon Mangga besar tinggi menjulang, tumbuh dengan kokoh. Awalnya aku tidak percaya, apakah benar pohon itu seperti itu dibiarkan tumbuh. Atau, pemiliknya dengan sengaja membangun rumah di situ. Bagaimanalah bisa, pohon yang berbatang cokelat, begitu tebal, dan besar itu berada di tengah-tengah ruangan rumah?
Ya, jika aku tidak masuk ke dalam rumahnya, tidak akan pernah kulihat bagaimana akar-akar pohon itu mencuat ke permukaan tanah, membuat beberapa ubin putih di sekitar retak bahkan pecah. Ada daun-daun cokelat kering berjatuhan, berserakan di lantai, yang setiap sore selalu disapu pemilik rumah. Seketika aku bingung, yang mana halaman, yang mana ruangan rumah. Baik ubin di ruang tengah maupun tanah-tanah di halaman, sama-sama kotor dengan dedaunan.
Setelah menyapu sampah daun dalam rumah, pemilik rumah yang belakangan kuketahui adalah lelaki tertua di perumahan itu, akan beranjak keluar ke halaman, lantas juga menyapu halaman dari sampah-sampah dedaunan.