Saya termasuk pecinta setia kuliner tertentu. Jika telanjur suka, saya enggan beranjak darinya. Kata KLa Project, tak bisa ke lain hati. Sudah kepincut. Kesetiaan itu tidak ada beda dengan sikap saya sama doi. Halah!
Adalah Soto Lamongan, satu dari sekian banyak soto Nusantara yang tidak pernah kalah enak jika saling dibandingkan rasanya. Di Jakarta Pusat, saya punya warung langganan. Tidak perlu berlama-lama, berikut liputan seputar makanan favorit saya, eksklusif untuk Kompasiana.
Gerobak yang unik
Sebelum menikmati kelezatan soto, mari kita lihat keunikan gerobak penjualnya. Sebetulnya, sama dengan sebagian penjual soto lain, gerobak berbahan kayu yang didorong dengan roda. Jika menetap di warung, diberi penyangga di bawah. Sama pula terdapat beberapa bahan-bahan soto di sekitar meja gerobak.
Yang unik adalah ada satu sisi bagian dalam gerobak berupa papan kayu yang dipasang miring, lantas dipakukan beberapa paku besar. Paku itu menempel kuat. Setelah papan diberi alas daun pisang, pada paku ditancapkan ayam utuh yang sudah dimasak dengan bumbu kuning. Biasanya dua atau tiga ekor.
Ayam ini sebagai persediaan jika ayam suwiran di nampan sudah habis. Penjual akan mengambilnya, memotong beberapa bagian, kemudian mengiris kecil-kecil.
Pada sisi lain, dandang sebagai tempat untuk kuah soto pun khas. Berbentuk lonjong dan tabung ke bawah, cukup dalam sehingga bisa memuat banyak liter kuah, dan mulut dandang berbentuk lingkaran terbuka lebar.
Komposisi bahan-bahan soto
"Biasa, Mas?" tanya penjual soto pada saya. "Iya," jawab saya sambil menelan ludah. Siang itu begitu terik. Saya belum sarapan. Perut sudah sangat lapar. Semangkuk soto hangat pasti lezat dan mengenyangkan.