Di dalam rumah itu, lampu ruang tengah terus menyala setiap malam. Terang benderang, menerangi empat penghuninya. Sesosok perempuan bertubuh tambun selalu setia duduk di kursi goyang sembari mengetik-ngetik sesuatu -- entah apa -- di laptopnya. Ada lagi seorang perempuan berbadan langsing yang begitu gemar menonton sinetron di televisi. Seorang lelaki umur tiga puluh tahunan masih saja asyik bermain ponsel. Sisanya, sesosok bayangan tidak terlihat yang bisa kapan saja menyergap.
Begitulah kata Lastri pada saya, sesaat setelah ia pulang dari rumah anaknya. Ia terkejut dan beberapa hari masih belum bisa menerima. Ia sudah mengeluarkan berbagai petuah dengan segala kebijaksanaan. Ia pun bercerita seputar hal-hal mengerikan dalam dunia cinta. Tetapi, tidak ada yang mengindahkan. Semua menganggap sepele. Sampai akhirnya ia memutuskan bercerita pada saya.
"Saya tidak kuat," serunya perlahan sambil mengelus dada. Saya mengambil secangkir teh panas untuk menyamankan suasana. Selama kami berteman, saya paling tahu, teh adalah minuman kesukaannya.
Lastri terus bercerita panjang lebar tentang anaknya. Ia begitu menyayanginya. Ia percaya penuh padanya. Uang bulanan setiap hari ia terima, meskipun anaknya telah beristri. Ia tahu, anaknya begitu menghormatinya.
Sampai pada suatu ketika, ia terkejut waktu memutuskan diam-diam datang ke rumah anaknya, tanpa ada yang tahu. Ia masih ingat, siang itu rumah sepi sekali. Tidak ada orang. Besar dan dingin. Ia memutuskan datang karena sudah lama tidak bertemu.
"Kamu jangan begitu lagi, Nak!" katanya perlahan kepada anaknya suatu malam di dalam mobil.
"Kenapa, Bu? Memang masalah?"
"Itu tidak baik. Itu sangat tidak baik!"
"Apanya yang tidak baik? Ia kan saudara. Mengapa tidak boleh tinggal bersama kita?"
Lastri menarik napas panjang. Ia mengambil sisir dari dalam tas, merapikan rambut yang sudah sebagian memutih. Beberapa helai rambut rontok ke karpet mobil.