"Astaga, dia kok begitu sekarang ya? Apa dia lupa, dulu pernah tinggal di kosan kita? Apa dia lupa, dulu waktu susah kita yang bantu? Sekarang kok tegur sapa saja tidak mau!"
"Rugi kan, kamu tidak jadi sama dia? Saya sudah bilang, sama dia saja. Sekarang dia sudah jadi orang. Coba kamu jadi istrinya, tinggal santai-santai di rumah!"
"Bayangkan kalau dulu kita beli tanah itu. Siapa yang sangka, sekarang semeter sudah jutaan. Padahal waktu itu hanya seratus ribuan. Sayang banget ya!"
Pernahkah Anda mendengar, kalimat pengulangan kejadian masa lalu seperti ketiga contoh di atas? Siapa sumbernya? Keluarga, teman, atau kita sendiri? Ketiganya sesekali keluar dalam perbincangan bersama di sekitar. Dengan santai dilontarkan, entah untuk tujuan apa.Â
Kalimat pertama mengandung unsur mengingat kebaikan. Kita sudah ternilai berjasa dan seyogianya orang yang mendapat kebaikan tahu diri dengan membalas kebaikan kita. Tersirat kita meninggikan diri dan merendahkan orang lain karena sudah lupa dengan kita.
Kalimat kedua soal penyesalan asmara. Ada keputusan yang ternilai salah waktu dulu dengan pengambilan kesimpulan saat sekarang. Siapa yang pernah tahu perubahan nasib seseorang? Siapa pula yang bisa mengatur rasa cinta seseorang?
Kalimat ketiga berperkara seputar pengandaian yang tidak berguna. Waktu sekarang digunakan untuk berpindah ke masa lalu dan menempatkan diri dalam mengambil keputusan tepat. Ini bisa mengundang kekecewaan.
Sebagian masa lalu memang asyik diingat
Sebagian masa lalu memang enak untuk diulas. Ada kebahagiaan dan kelucuan saat momen tertentu. Semisal waktu kecil, belum mengerti apa-apa, isinya hanya bermain di lapangan bersama teman.
Kenangan indah bersama anggota keluarga yang telah meninggal sangat menghangatkan hati. Proses-proses perjuangan yang sudah dilewati dan membuat berhasil kini, layak dibanggakan dan dijadikan cerita untuk menginspirasi.