Pernahkah disadari, sedari kecil, kita selalu diajari untuk terus berpikir tentang bermanfaat, berbuat sesuatu demi kebaikan bagi orang, tetapi lupa diajari seputar bagaimana melampiaskan secara tepat emosi negatif pada diri?
Semua orangtua pasti menghendaki anaknya menjadi berguna sejak kecil hingga besar nanti. Nilai-nilai kebaikan dari ajaran agama dan pengalaman hidup terus ditanamkan dengan harap dapat terwujud lewat perbuatan.
Orangtua tentu bangga anaknya dikenal sebagai orang baik. Kehadiran ditunggu-tunggu karena sosoknya menyenangkan. Pintar mencari solusi dari setiap masalah. Bertutur kata sopan dan pandai menjaga perasaan. Murah senyum dan bersikap ramah.
Tetapi, adakalanya dalam hidup, orang tidak bisa selamanya memiliki emosi positif. Sepanjang masih berinteraksi dengan orang lain, di mana sedikit banyak berpotensi menimbulkan gesekan dan perselisihan, mau tidak mau timbullah emosi negatif.
Boleh jadi berbentuk marah, jengkel, sebal, dendam, kecewa, dan seterusnya. Pernahkah Anda diajari untuk melampiaskan emosi-emosi itu lewat cara yang tepat?
Tidak semua orang suka jadi tempat pelampiasan
Lebih banyaknya ajaran kebaikan yang diterima akan menyadarkan kita bahwa peristiwa pelampiasan emosi negatif yang ditujukan ke orang adalah sebuah penyesalan waktu kemudian hari.
Semisal, kita jengkel karena perbuatan seseorang yang merugikan. Bahkan sampai tahap marah. Ketika kita memarahi orang itu, pikiran bijak akan hilang.
Hanya nada dan sentakan kuat menguasai. Kita puas saat itu. Orang itu diam. Kemungkinan besar bisa melawan dan terjadi perkelahian. Boleh pula tertunduk malu dan sadar akan kesalahan.
Nanti, setelah emosi mereda, pernahkah kita merasa ada sedikit penyesalan dari kemarahan itu? Jika iya, pasti karena kita tahu, memarahi orang buruk adanya. Semua seharusnya bisa disampaikan secara tenang dan baik-baik.