Seorang lelaki tua mengetuk pintu rumah. Tangannya membawa sebuah koper hitam. Ia lelah sekali karena berjibun pekerjaan hari itu. Betapa ia ingin segera beristirahat.
Seorang anak kecil menghampiri. "Kamu sudah pulang, Pah?" tanyanya sedikit kencang. Lelaki tua itu terdiam. Ia heran, sejak kapan anaknya begitu lancang memanggilnya. Siapa yang mengajarinya?
Kamu, kalian, anda, dan saudara memiliki satu kesamaan, di antara berbagai arti yang dituliskan dalam KBBI untuk setiap kata tersebut. Keempatnya merujuk pada orang kedua. Tepatnya, yang diajak bicara dan sedang disapa.
Percakapan dapat berlangsung setidaknya dihadiri oleh dua orang. Saya dan Anda. Bila sendiri, gawat. Bisa disangka orang gila. Apalagi sedang berjalan di jalan raya.
Meskipun ada sebagian yang langsung menyapa menggunakan nama (semisal Budi, John, Susi), setidaknya keempat kata ganti itu pernah diucapkan barang sekali selama hidup sehari-hari.
Pada kebiasaan orang Jawa, penyebutan kata ganti orang kedua pun beragam. Tidak hanya "kowe", tetapi juga "sampean" dan "panjenengan". Ketiganya kendati berarti sama, ada derajatnya.
"Kowe" dipakai untuk memanggil orang yang sangat dekat dan seumuran. Biasanya, tidak ada lagi rasa canggung dalam bercakap. Sahabat atau teman karib suka menggunakannya.
"Sampean" merujuk kepada orang yang cukup dekat tetapi sedikit lebih tua. Sudah ada rasa menghormati di sini. Teman kantor saya yang lebih muda menggunakan kata ini ketika memanggil saya.
Sementara "panjenengan" diibaratkan seorang raja duduk di atas takhta. "Panjenengan" memiliki kasta tertinggi tentang penghormatan. Harus dipakai untuk memanggil orangtua atau orang lain yang lebih tua tetapi tidak kenal. Semata-mata berfungsi untuk meninggikan derajat.
Lantas, apakah pada Bahasa Indonesia tidak ada?