Pagi masih samar menyapa. Mentari malu-malu munculnya. Namun, beberapa kamar di kontrakan itu sudah sibuk saja. Lampu dari semalam belum padam. Beberapa mahasiswa bermata panda terus membaca satu dua diktat di atas meja.
Tinggal tiga jam lagi menuju waktu ujian. Saat itu, ujian terakhir pada rangkaian ujian akhir semester. Semua begitu sungguh-sungguh belajar. Tidak ada satu pun yang ingin mengulang.Â
Nostalgia yuk! Kapan terakhir kali Anda mengalami situasi seperti ilustrasi? Baru saja, setahun lalu, beberapa tahun lampau, atau sekian windu silam? Kapan pun saatnya, ada rasa yang kita alami bersama. Cieee...
Kelelahan pikir dalam belajar. Ada yang setiap hari selalu belajar. Ada yang penuh sepanjang semalam sebelum ujian. Atau, beberapa jam menjelang ujian agar tidak lupa. Bahkan, sejam dekat ujian. Sistem Kebut Sejam (SKS). Harapannya, hafalan masih nempel dan melekat benar di otak. Belum rontok.
Selain itu, ada campur aduk emosi pada beberapa mahasiswa. Mereka saling bertanya:
"Kamu sudah belajar, belum?"
Ada yang menjawab:
"Belum!"Â
Padahal ia belajar diam-diam dalam kamar. Nanti, ketika hasil ujian keluar, tahu-tahu ia dapat nilai A. Jauh di atas kita. Betapa rendah hati ia! Betapa gemas kita.
Ada pula yang ricuh, meminta diajari oleh teman yang lebih pintar. Jika teman itu baik -- terkadang ditambah rayuan dan sedikit sogokan -- ia mau berbagi pengetahuan. Jika egois, meskipun teman memohon sampai merengek, sudahlah. Sia-sia!
Semua siswa ingin mendapat nilai bagus. Semua berharap lulus ujian, sehingga tidak tinggal kelas atau mengulang SKS -- jika mahasiswa. Saya salah satu di antaranya.
Dari sekian banyak soal ujian yang pernah saya kerjakan, sejak sekolah dasar hingga kuliah, ada dua tipe soal yang kerap muncul. Pertama berupa pilihan ganda.
Ada sebuah pertanyaan atau narasi soal dijelaskan, lalu disertakan jawabannya berupa pilihan ganda. Waktu SD, saya menemukan tiga buah -- A, B, dan C. Naik ke SMP, bertambah satu. D. SMA dan kuliah, lengkap lima buah. Sampai E.
Yang kedua adalah uraian. Di sini, saya dihadapkan pada sebuah pertanyaan, yang isinya berupa jawab lengkap -- saat SD dianjurkan, dan narasi hafalan berupa baris-baris kalimat.Â
Tipe soal uraian ini saya amati semakin tidak digunakan dan mulai hilang sejak ujian bersistem Lembar Jawab Komputer (LJK) diterapkan.Â
Komputer hanya membaca jawaban berdasarkan arsiran pensil pada lingkaran pilihan ganda yang dipilih. Saya tidak tahu, anak-anak zaman sekarang mengalami tidak ya, soal uraian seperti ini?
Lebih suka yang mana?
Soal pilihan ganda
Jujur, waktu kuliah, saya dan beberapa teman, ketika mendengar pertama kali dari pengawas ujian bahwa soalnya berupa pilihan ganda, ada rasa sukacita menggemuruh dalam dada. Betapa lebih ringan dalam menjawabnya. Betapa lebih cepat dan lebih praktis menyelesaikannya.
Telah ditunjukkan jawabannya
Soal pilihan ganda secara langsung telah menunjukkan jawaban yang benar, satu di antara lima opsi yang ada (A, B, C, D, dan E). Jika lupa, kita dapat diingatkan dengan mengamati opsi jawaban satu demi satu.
Terkadang, antarsoal, ada yang menyambung dan saling berhubungan ceritanya. Jika cermat, kita bisa analisis dan perbandingkan di sana. Banyak petunjuk dalam soal dan jawaban lain, bisa dimanfaatkan.
Tidak perlu repot menulis panjang
Menjawab soal pilihan ganda cukup mudah. Hanya dengan mengarsir bulat hitam sempurna atau memberikan tanda silang tepat pada opsi yang dipilih di lembar jawaban. Kita tidak perlu repot merangkai kata-kata indah, yang tentu memakan waktu dan begitu berat bagi siswa yang tidak pandai menulis.
Pada sisi lain, ada satu ketegasan -- lebih tepatnya "kekejaman" -- mutlak pada soal bertipe ini. Salah ya salah, benar ya benar. Satu soal dan jawabannya bernilai mati. Tidak ada pertimbangan dari penilainya.
Soal uraian
Sedangkan untuk soal bertipe uraian, siswa masih dapat tertolong, meski harus menguras daya ingat untuk menghafal berbagai narasi pelajaran -- baik belajar secara visual, auditori, maupun kinestetik.
Dapat menyusun logika sendiri
Yang suka menulis diuntungkan di sini. Mereka dapat menyusun narasi sebaik-baiknya (biasanya jawab lengkap dengan mengulang sebagian kalimat pertanyaan), ditambah dengan satu dua logika yang muncul seketika, yang penting masuk akal dan menguatkan jawaban utama.
Dengan jumlah kalimat yang berjibun -- meskipun belum tentu benar, ada rasa tenang bagi siswa saat meninggalkan ruang ujian. Serasa bangga, bisa menjawab banyak. Hehehe...
Ada nilai belas kasihan
Berdasarkan pengalaman saya, satu dua dosen atau guru biasanya tidak tega ketika melihat siswanya sudah menulis banyak, kendati salah semua. Ada nilai belas kasihan -- upah menulis -- yang diberikan, yang sedikit banyak dapat menambah nilai keseluruhan.Â
Oleh sebab itu, siswa terkadang menulis logika apa pun yang masuk akal, agar titik-titik jawaban terlihat penuh. Bahkan bila bisa, sampai nambah kertas. Kalau perlu pula, sertakan kalimat berupa pesan yang menyentuh, supaya pengajar bermurah hati memberi nilai. Wakakaka....
Betapa indah memang, sebagian memori sekolah jika diulas. Ujian adalah saat yang mendebarkan, dan berubah menjadi membahagiakan, kala hasilnya sesuai harapan. Jika jauh di bawah, ya, berarti kita wajib lebih rajin lagi belajar.
Jadi, Anda lebih suka soal pilihan ganda atau uraian?
...
Jakarta
15 Mei 2021
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H