Anda pasti tahu makanan ini. Santapan sejuta umat. Tidak mengenal kalangan. Baik rakyat jelata, kaum menengah, maupun pejabat teras, setidaknya sekali seumur hidup pernah menikmatinya.
Sajian mi kuning atau putih, bertabur suwiran daging ayam cokelat, dengan potongan batang sawi dan daun bawang, dilengkapi kuah kaldu ayam. Rasanya lezat. Apalagi jika ditambah kecap, saus, sambal, dan kerupuk.
Di Jakarta, makanan ini begitu mudah ditemukan. Tidak pagi, siang, atau sore, bahkan malam, bila mau mencari, pasti ada yang menjual. Alternatif pengganti karbohidrat yang lezat selain nasi, jika kita mulai bosan makan nasi.
Saya punya langganan di dekat kantor. Seorang abang bergerobak yang menjualnya. Jika di kampung, ada pula, tetapi berbentuk warung. Saya sulit berpindah dari mereka, karena telah terbiasa dan cocok dengan rasanya.
Ada satu kebiasaan yang saya lebih suka lakukan setiap makan mi ayam, yaitu sebisa mungkin menghabiskannya di tempat. Saya jarang membungkus mi ayam untuk dibawa ke rumah atau ke ruangan kantor. Mungkin juga Anda. Bukan tanpa alasan.
Minya menggelembung
Saya tipe orang yang suka mi ayam bertekstur keras, sedikit kaku, meskipun menyantapnya penuh berkuah kaldu. Jika dibawa pulang, mi akan menggelembung dengan cepat, menyerap kuahnya.
Seperti bakso, jika Anda tinggal lama, kuahnya akan hilang karena terserap bihun. Ini tentu tidak enak bagi saya dan otomatis mengurangi nafsu makan.
Keburu dingin
Perjalanan pulang pasti memakan waktu. Jika rumah jauh, tidak sebentar. Belum lagi kendala di jalan seperti macet. Mi dan kuahnya keburu dingin. Menjadi tidak enak disantap lagi.
Aneh bila kita telah terbiasa memakannya hangat, lalu tersajikan dingin. Memang, kuah bisa dipanaskan. Tetapi, tidak dengan minya. Sensasi asap mengepul dari mi yang baru masak dan ditiriskan dari panci penjual itu tidak tergantikan.