Saya dulu punya blog pribadi. Sampai sekarang, gegara Kompasiana, blog itu saya tinggal begitu saja.Â
Perkenalan saya dengan Kompasiana berawal dari sebuah percakapan dengan atasan. Beliau bercerita tentang seorang temannya yang menjadi Kompasianer dan terkenal karena tulisannya. Tulisan itu banyak dipakai sebagai rujukan kajian para akademisi. Saya menjadi tertarik setelah mendengarnya.
Lalu, sekejap saya cari informasi tentang Kompasiana. Saya buka media peramban dan saya masuk ke alamat situsnya. Saya baca satu demi satu tulisan. Saya lihat apa-apa saja yang disajikannya.
Apakah lebih baik kualitasnya dari blog saya? Apakah bisa memikat saya untuk terus membaca? Apakah lebih meringankan saya menulis dan mengelola tulisan? Keuntungan-keuntungan apa saja yang saya peroleh? Apa waktu yang saya keluarkan sebanding dengan informasi yang saya dapat? Dalam arti, analisis tulisan mendalam dan tidak hoax?Â
Akhirnya, untuk menjawab rasa penasaran atas pertanyaan-pertanyaan itu, saya memutuskan bergabung, menjadi Kompasianer. Dan inilah, sepuluh manfaat yang saya dapatkan dari Kompasiana. Mata dan kepala saya sendiri yang menyaksikan dan mengalaminya.
Kita berpotensi tenar
Tulisan kita yang lulus seleksi editor, beroleh label pilihan, bahkan artikel utama, akan disebarluaskan di dunia maya melalui media sosial Kompasiana, seperti Facebook dan Twitter. Semua kalangan bergawai bisa membacanya.
Selain itu, sesekali muncul juga di halaman Kompas.com, bagian muka pula. Siapa yang tidak tahu dan tidak pernah buka Kompas.com, salah satu media massa tersohor di negeri ini? Saya rasa bila ada, tidak banyak. Nama kita yang tersemat sebagai penulis artikel akan ikut populer. Persis keterangan atasan saya di atas.
Belajar dari penulis senior
Di sini, banyak Kompasianer berkelas, mulai dari profesor, pakar bahasa, guru, cerpenis, penyair, dan lainnya, yang semua itu tidak diragukan kualitas tulisannya. Dari penulisan ejaan, penggunaan tanda baca, menyusun paragraf, pemilihan diksi, analisis masalah, kreasi dialog, dan lainnya.