Cerpen Sebelumnya: Si Penjual Waktu
"Pengumuman! Pengumuman! Diberitahukan pada seluruh warga, bapak penjual waktu telah meninggal. Dia tutup usia saat umur lima puluh tahun. Diimbau untuk Saudara-Saudara yang pernah membeli waktu darinya, berkumpul segera di gedung pertemuan. Kita akan bersama-sama menguburkannya, sebagai bentuk penghormatan terakhir. Saya harap, semua bisa datang!"
Terdengar suara pemberitahuan yang begitu kencang dari pengeras suara di balai warga. Beberapa ibu tetangga berlarian keluar rumah. Saya membuka pagar. Ada tiga ibu sedang sibuk berbincang.
"Astaga! Kok bisa mendadak begini?"
 "Iya, kasihan ya, Bu. Saya juga kaget."
"Lagian siapa yang tahu, Bu. Si bapak kan memang berdiam terus dalam rumah. Kita mau jenguk tidak enak. Ibu-ibu masih ingat pesan terakhirnya? Kan kita tidak boleh mengganggunya."
Saya mendatangi mereka.
"Heh! Kalian ngomongin orang mati ya? Nggak baik gosipin orang yang sudah meninggal!" sergah saya. Saya paham benar ketiga ibu tetangga saya itu tersohor sebagai penyalur berita terdepan. Semacam paling tahu segala di kota ini. Sayang, yang belum tentu benar yang sering asyik mereka perbincangkan.
"Bukan begitu, Bu. Kami heran saja. Tidak ada angin tidak ada hujan, si bapak meninggal," jawab salah seorang ibu.
"Sudah-sudah! Lebih baik kita langsung ke balai saja. Orang-orang sudah menunggu untuk pemakaman. Kita harus hadir. Entah, tanpa bapak itu, mungkin hidup kita tidak sampai sejauh ini."