Pada bagian tengah sebuah meja bundar di dapur, tergeletak dua piring makanan dan satu mangkuk. Satu piring berisi mi goreng, satu lagi tersaji sate ayam. Mangkuk penuh dengan sop iga sapi. Di sekelilingnya, ada enam piring terbuka, bersama sendok dan garpu di atasnya.
Satu milik bapak, satu punya mama, keempat lain bagian anak-anak. Sudah duduk di depan piring-piring itu, orang-orang yang begitu lapar sehabis beraktivitas seharian.
Ada Anda yang pernah seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan, itu adalah aktivitas makan bersama, semeja makan, antaranggota keluarga, meliputi ayah, ibu, dan anak-anak. Bisa pula bersama paman, bibi, ketika mereka datang bertamu.
Saya jadi ingat masa kecil. Berbagi kisah nostalgia tidak apa-apa ya? Saat itu, pukul tujuh, setelah Bapak pulang kantor, Mama selalu sudah siap menyajikan berbagai makanan di meja makan.
Saya bersama ketiga kakak sibuk masing-masing. Ada saja aktivitas kami. Ada yang belajar, bermain -- bila sudah selesai belajar, dan nonton tv. Saat Bapak selesai merapikan motornya, mandi, dan berganti baju, momen ketika Bapak datang dan duduk di meja makan, adalah pertanda bahwa kami harus menghentikan aktivitas.
Dalam hitungan detik, kami harus sudah duduk di meja makan. Bila tidak, mata Bapak akan menyorot tajam. Suaranya akan bergetar kencang, membelah udara. Maklum, orang Batak, rata-rata suaranya keras-keras.
Di meja makan, masing-masing tidak boleh sibuk. Mainan disingkirkan, gawai dimatikan, buku-buku pelajaran diletakkan. Ya, hanya makan, dan percakapan antaranggota keluarga yang diperbolehkan.
Diawali dengan doa, makan bersama semeja makan pun berlangsung. Saat ini, saya begitu merindukan itu. Ada hal-hal yang hilang sejak Bapak telah meninggal, kakak-kakak sudah berdiam di tempat masing-masing, tinggal saya dan Mama.
Dalam waktu satu jam -- makan dan bercengkerama, saya menyadari ternyata banyak hal yang dipelajari dari sana: