Cerpenis tidak bisa membatasi siapa saja yang membaca cerpennya. Meskipun sudah dibilang untuk dewasa, tidak menutup kemungkinan anak kecil turut membaca. Bila belum matang pikir, bisa saja anak itu meniru apa adanya.
Ketika cerpenis menyelipkan ejekan atau "hinaan" bodoh dalam percakapan sesama tokoh, anak itu bisa menirunya ketika bercakap dengan temannya. Orangtua pasti langsung menegur, "Kamu habis baca apa, Nak?" Anak kecil memang peniru ulung.
Cerpenis takut dicap
Cerpen yang ditulis adalah hasil pemikiran. Ketika menyisipkan ejekan dan kata-kata kasar, yang bagi cerpenis dimaksudkan candaan -- karena sudah terbiasa digunakan untuk percakapan antarsahabat, mungkin sebagian pembaca ada yang menangkap, "Wah, jangan-jangan kebiasaan nih, cerpenis suka mengejek di dunia nyata." Rusaklah citranya di mata mereka.
Oleh sebab itu, jarang ditemukan cerpen menghibur. Bila ada, cerpenis sudah tahu risikonya. Apa pandangan pembaca atas dirinya, siapa yang akan meniru ceritanya, dan bagaimana dampaknya.Â
Tetapi tenang, masih ada sekiranya hal-hal yang saya anggap cukup menghibur dan tidak masuk ke ranah melukai atau menyakiti orang dan tidak juga merusak moral. Saya akan mengambil beberapa contoh dari cerpen saya yang dinilai beberapa Kompasianer menghibur.
Mewakili perasaan hati
Cerpen merupakan cerita hidup yang terbentuk dari pikiran dan perasaan, entah itu imajinasi atau kenyataan. Beberapa kekesalan sulit ditumpahkan di dunia nyata dan melalui cerpen bisa dituliskan.
Bila kebetulan sama dengan yang dialami, pembaca pasti tersenyum dan mungkin tertawa. Semisal:
"Yang, kamu mau makan apa?" tanya seorang lelaki pada kekasih di sampingnya. Wanita itu asyik melihat telepon genggam. "Terserah, Yang," jawabnya perlahan. Lalu mereka berdua pergi ke sebuah restoran pizza. Sebelum turun dari mobil, wanita itu berbicara seperti mengeluh.
"Kok ke sini sih! Gak ada yang lebih enak lagi apa? Kamu gak tahu yang aku suka? Kamu gak peka," katanya sambil mengerutkan dahi. Lelaki itu tertunduk lesu.