Gerimis pun sudah berhenti. Air menetes-netes dari pucuk daun pisang. Da Silva membuka pintu.
"Ya, aku akan bunuh diri. Akan kubiarkan penduduk tetap penasaran dan bertanya-tanya atas semua peristiwa ini. Akan kubuat mereka pada senewen!" pikirnya.
Ibu mengambil sesuatu dari dalam bajunya, seperti sebuah kunci. Saya mengikutinya masuk ke kamar Bapak. Ibu membuka gembok pada kotak kayu itu. Dengan cepat, ibu menyibakkan kain penutup foto itu. Saya tertegun.Â
Pernahkah Anda membaca cerpen dan merasa ada yang belum selesai dari cerpen itu, sementara kalimatnya sudah habis? Ada pertanyaan yang tidak terjawab. Biasanya, itu terpenting dan menjadi alasan kita membaca sampai selesai.
Reaksi pembaca mungkin beragam. Ada yang kesal, ada yang tertawa, ada yang memuji. Saya berkali-kali membaca cerpen semacam itu. Saya namakan cerpen tanggung. Reaksi saya? Tersenyum, kagum, dengan cara para cerpenis menuliskannya. Saking suka, saya menirunya di beberapa cerpen saya.
Membuat penasaran adalah wajib bagi cerpenis, untuk memancing pembaca. Tetapi, meninggalkan rasa penasaran dirasa sebagian pembaca--termasuk saya dulu, begitu menyebalkan.
Kita tidak boleh membuat orang penasaran, bukan? Lantas, apa cerpenisnya menjadi salah? Di fiksi, tidak ada benar salah. Semua terserah pada cerpenis. Ini sekadar gaya cerita.
Saya akan menggunakan tiga cerpen untuk membahas ini. "Kepala di Pagar Da Silva" karya Seno Gumira Ajidarma, "Tabir Kelam" karya Herlino Soleman, dan "Sebuah Foto di Dinding Kamar Bapak" karya saya sendiri. Secara berurutan, akhir ketiga cerpen ini ada di pembuka artikel ini.
Apa cirinya?
Cerpen tanggung memiliki beberapa kesamaan bila disimak dan dipelajari baik. Kita perlu menggarisbawahi bahwa tidak ada sedikit pun maksud cerpenis untuk mengerjain pembaca.