Hasil investigasi terakhir, ditemukan ada sisa-sisa racun bening dan begitu mematikan, tipis melekat di jari-jari tangan nyonya, di potongan kue, di gunting taman, dan juga potongan lakban yang berserakan di lantai. Masih belum jelas, siapa pembunuhnya. Para babu, selingkuhan nyonya, dan tuan tidak diperbolehkan keluar kota. Mereka terus dipanggil secara rutin ke kantor petugas.
Walaupun otaknya masih penuh tanya, lusa tuan mau tidak mau ke kantor untuk mengurusi bisnis perikanannya. Tanpa dia duga, seorang wanita muda bersepatu merah muda berhak tinggi sudah duduk dalam ruangannya. Pada sekretaris tuan, ia mengaku sebagai seorang rekan kerja.
"Mengapa kau masih bersedih? Bukankah seharusnya kau senang, wanita tua itu meninggal?"
Tuan tidak menjawab. Ia tidak memandang sedikit pun wajah wanita itu. Benaknya terus bertanya-tanya. Apa tukang kebun? Apa si koki? Apa pengasuh bayi? Apa lelaki selingkuhan itu? Tidak mungkin pula bila si sopir pembunuhnya.
"Sudahlah. Tak perlu kau sedih. Justru kita semakin mudah bercinta. Tidak ada yang menghalangi lagi," kata wanita itu. Ia mendekati tuan. Tangannya menggelayuti pundak tuan. Darah tuan tiba-tiba berdesir.
"Belum ketemu pembunuhnya?" lanjut wanita itu.
Tuan menggelengkan kepala.
"Pastilah. Saya menyamarkan alamat pengirim di kotak itu."
Tuan memandang tajam wanita di depannya.
"Saya sengaja menaruh racun di lakbannya. Pasti, dia yang tergila-gila dengan pakaian itu, akan membukanya, lalu racun pada lakban itu menempel di jarinya, dan seketika bila ia makan dengan tangan, nyawanya menghilang."
"Jadi kau pembunuhnya?"