Si koki berteriak. Tukang kebun gusar. Secara spontan, ia memegang kedua tangan nyonya. Jari telunjuknya mencoba merasakan nadinya. Berharap masih ada denyutan. Setelah itu, ia mendekatkan telinga pada hidung dan mulut nyonya. Berharap masih mendengar desahan napas.
"Nyonya sudah tidak ada!" kata tukang kebun perlahan. Mendadak pengasuh bayi meraung-raung. Koki memeluknya bersama tangisan yang terus mengalir. Sang bayi masih merengek-rengek.
"Apa kita perlu lapor petugas?" tanya koki. Ia berusaha tenang, meskipun hatinya begitu hancur melihat nyonya yang selama ini sering baik padanya, meninggal dengan cara yang menyedihkan.
"Jangan! Kita tidak berhak. Lebih baik telepon tuan," jawab tukang kebun. Ia berlari menuju ruang tengah. Lantai putih di rumah itu berubah menjadi cokelat, kotor, tertempel tanah dari telapak kakinya. Ia mengangkat telepon dan menghubungi tuan.
Dari suatu tempat di jalan raya, seorang sopir menginjak gas dalam-dalam. Ia menyalip mobil di depannya begitu cepat. Beberapa lampu merah diterobos. Klakson dipencet berulang-ulang. Meskipun suaranya begitu kencang, tetapi tidak terdengar oleh pengemudi lain, karena tertelan hujan yang turun mendadak deras.
Di belakangnya, duduk seorang lelaki dengan wajah begitu cemas. Begitu gelisah. Ia berulang kali menelepon. Bicaranya terbata-bata, sesekali membentak. Tersirat ketakutan, tersirat pula kegeraman. Tangannya terus mengepal.Â
"Cepat lapor petugas!" seru lelaki itu lewat telepon.
Tidak berapa lama, sopir bersama tuan sampai. Sopir memarkirkan mobilnya di depan rumah, karena garasi sudah penuh beberapa mobil putih hitam berjejer. Mereka turun dari mobil dan lekas masuk ke rumah.
Dalam rumah, sudah banyak orang berseragam. Ada yang menggeledah kamar. Ada yang memeriksa jenazah nyonya. Ada pula yang berdiri tegang, kemudian berjalan mondar-mandir, lalu memelototi beberapa orang yang sudah duduk dari tadi di sofa ruang tengah.
Koki tertunduk lesu. Pengasuh bayi terdiam dengan tatapan kosong. Tukang kebun merapal doa, berharap semua baik-baik saja. Ada seorang lelaki di dekat mereka. Tempat mereka rapat seperti biasa. Kali ini bukan rapat, tetapi sidang. Seorang petugas berbadan kekar duduk di depan mereka.
"Istriku, kenapa kau pergi?" pekik tuan di depan pintu kamar. Seorang petugas menahannya masuk. Proses pemeriksaan jenazah dan tempat kejadian perkara sedang berlangsung. Tidak ada seorang pun diperbolehkan mendekati jenazah.