Lagi dan lagi, tulisan ini adalah hasil pembelajaran dan bentuk perenungan saya sejauh ini dalam menulis cerpen. Sebelum menulis cerpen, sudah tentu saya membaca dulu, untuk mencari ide.
Setelah itu, saya menulis dan selesai menulis, saya kembali membaca. Buat apa? Capek-capek menulis malah kita sendiri yang membaca? Bukankah tugas kita hanya menulis dan orang lain nanti yang membaca?Â
Sangat bermanfaat Saudara, karena itu bisa mengukur seberapa maju kualitas tulisan kita.
Kita--para cerpenis--seyogianya menempatkan diri sebagai objek penelitian yang diwajibkan membaca tulisan sendiri. Apakah cerpen itu nanti bisa memuaskan pembaca? Apakah cerpen itu layak dibaca? Apakah cerpen itu benar-benar hidup, meskipun bukan kisah nyata dan hanya karangan? Kita sendiri yang pertama menilainya.
Apakah emosi benar-benar terasa?
Cerpen adalah cerita hidup, bukan sekadar tulisan opini. Ada tokoh yang dituliskan di dalamnya, ada konflik yang mencuat dan dinanti solusinya, ada pula pertanyaan-pertanyaan hasil pemikiran yang begitu rumit yang ditunggu jawabannya.
Setiap tokoh pasti punya emosi, mau itu bahagia, sedih, marah, jengkel, dan lainnya. Beberapa tergambar melalui tingkah laku jasmani dan percakapan. Ketika cerpenis menjadi pembaca, seyogianya dia berhasil merasakan emosi dari cerpen yang ditulisnya.
Semisal, kita hendak menyampaikan emosi marah melalui umpatan dalam percakapan: "Bangsat kau ya!" Meskipun sudah terasa marah di sana lewat kata "bangsat", alangkah lebih mantap bila kalimat itu kita koreksi sedikit: "Bangsat kau!" Kita buang kata "ya" dan rasakan perbedaannya. Lebih terasa mengumpat, bukan?
Apakah kalimat sudah memikat?
Kalimat demi kalimat yang menyusun semua paragraf cerpen sebaiknya ditulis dengan mengandung unsur kebaruan, sehingga terus menarik minat membaca. Kebaruan berarti setiap paragraf menjelaskan hal yang tidak sama. Dari beberapa cerpen yang saya baca, semisal memang ada kalimat yang terus diulang, itu betul-betul begitu penting dan menjadi inti cerita. Bila tidak, jangan, itu membosankan.
Semisal, cerpen "Saya yang Membakar Kota M Sekali Lagi" karya M. Aan Mansyur. Dalam cerpen itu, kalimat "Saya yang Membakar Kota M Sekali Lagi" sering diulang dari awal sampai akhir, baik sama persis maupun sedikit modifikasi.Â