Ada dua orang lelaki duduk begitu dekat ketika senja mulai hilang dan malam hampir datang. Mau sedang hujan atau langit begitu terang, kedua lelaki itu yang umurnya berbeda begitu jauh selalu saja menyempatkan diri untuk melakukan ritual sore hari.
Umur mereka berselisih sekitar enam belas tahun. Yang tua dua puluh enam, sementara satunya sepuluh tahun. Yang lebih muda duduk di atas sebuah bangku, sedangkan yang lebih tua duduk begitu saja di atas ubin, di depan pintu.
Dalam waktu kira-kira satu jam, kedua lelaki itu terus bercanda sembari tangan yang muda memegang rambut kepala yang tua. Perlahan, ia menyibakkan rambut gondrong di depannya, yang begitu lebat dan cukup panjang sampai sebahu, lalu mencari dan mengambil satu demi satu kutu-kutu rambutnya, dan mencabut rambut yang sudah memutih.
Bila semua selesai dengan baik, lelaki yang tua akan memberikan beberapa peser uang, sebagai upah telah membersihkan rambutnya. Lelaki yang muda seketika senang dan lekas pergi ke warung, membeli jajanan kesukaannya.
Itu kisah saya dulu waktu kecil bersama Bapak. Kendati saya sudah hampir lulus SMA, kebiasaan mencari kutu dan mencabut uban itu masih saya kerjakan setiap sore, juga di lokasi yang sama, di depan pintu rumah kami.
Entah, mengapa saya yang terus terpilih? Dari keempat anak Bapak, mengapa saya selalu yang diminta melakukan itu? Apakah belaian tangan saya begitu lembut? Apakah saya lebih cermat mencari kutunya? Apakah Bapak begitu puas dengan begitu banyak uban yang berhasil saya cabut?
Bapak memang tidak suka uban. Dalam profesinya sebagai sales motor, yang menuntutnya harus selalu rapi dan menarik ketika berhadapan dengan pembeli--ketika bekerja, Bapak selalu menguncir rambutnya, rambut putih dan kutu yang berjatuhan di pundaknya, betul-betul mengurangi kepercayaan dirinya.Â
Bahkan, karena itu, dia bisa kehilangan pikir, dan tidak mampu berbicara, mengeluarkan kata-kata mutiara, yang biasanya dalam beberapa detik langsung memikat pembeli mengambil salah satu motor yang dijualnya.
Dari dulu sampai sekarang Bapak setia menjadi sales motor. Apa itu sudah panggilannya, saya tidak tahu. Yang pasti, dari hasil kerjanya, saya dan adik-adik saya telah bersekolah dengan baik dan sebagai anak pertamanya, entah rezeki atau doa Bapak, saya mendapat beasiswa untuk kuliah di luar negeri.
"Bapak mikir apa sih? Banyak yang belum terjual ya motornya?" kata saya saat mengambil uban Bapak. Saat itu, hari-hari terakhir saya bersama Bapak, menjelang keberangkatan saya keluar negeri. Saya mendapat beasiswa sampai S3.
"Tidak hanya masalah itu, Nak. Bayangkanlah ibumu. Bagaimana Bapak tidak mikir? Setiap saat pulang kerja, ibu selalu meminta uang. Padahal belum tentu setiap hari ada motor terjual. Bapak pusing mendengar celotehnya."Â