...Wajah-wajah pengendara adalah wajah para raja jalanan. Wajah-wajah yang mengusung semua lambang kekotaan: keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa...
Di atas adalah dua kalimat penggalan cerpen "Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan", karya Ahmad Tohari. Beliau menggambarkan kondisi jalan raya seperti orang-orang yang egois, mementingkan diri sendiri, tanpa memberi waktu bagi Karsim--yang adalah seorang pejalan kaki-- untuk menyeberang jalan.
Mengapa saya buka artikel ini dengan cerpen itu? Kendati cerpen itu lawas, masih sangat relevan dengan keadaan aktual. Setiap kali saya bersepeda di jalanan ibu kota, saya selalu teringat Karsim.Â
Cerpen itu melekat benar pada benak. Orang-orang ibu kota sebagian begitu. Semua serba cepat, was-wes-was-wes di jalanan, kalau terlambat sedikit akan kalah selip, sehingga terkadang tidak mengindahkan ada pejalan kaki dan pesepeda yang ingin menyeberang.
Saya kenal betul jalanan ibu kota. Ada yang tersedia jalur khusus pesepeda, ada yang jalan rayanya begitu kecil dan masih terpotong jalur busway, ada pula yang jalannya hampir setengah dibangun trotoar.Â
Sebagai pesepeda, saya tentu wajib hati-hati, agar selamat sentosa di jalan. Sering sekali saya mengalah, menunggu lalu lalang kendaraan benar-benar sepi, baru saya melanjutkan perjalanan.
Pengalaman unik dan sekali terjadi, saya tertabrak motor ketika siang hari. Saat itu, pengendara motor berucap dia ngantuk. Mungkin terkena embusan angin yang begitu dingin di siang hari yang begitu terik, sehingga dia terlena, tidak konsentrasi membawa motor, dan akhirnya menabrak bagian belakang sepeda saya.
Untung saya tenang. Puji Tuhan, saya tidak apa-apa. Masih lancar saja sampai detik ini menulis cerpen di Kompasiana, hehehe.... Atas kejadian itu, saya lebih berhati-hati lagi ketika bersepeda di ibu kota.
Memakai alat keselamatan
Sudah tersedia helm kecil khusus pesepeda. Tinggal beli. Helm ini selain melindungi kepala dari sengatan matahari, juga meminimalisir seandainya kita jatuh dan cedera terantuk aspal.