"Aaaaarrgggg!!!"
Terdengar jeritan pada tengah malam. Di luar turun hujan. Guntur menggelegar. Kilat menyambar-nyambar. Daun-daun pepohonan saling bersentuhan, membuat keributan bersama angin yang bertiup kencang, seperti penanda ada sesuatu yang tidak beres terjadi.
Sulepret terjaga dari tidur. Di depannya, seorang anak dengan bibir bergetar dan kaki gemetar duduk lemas di dekat pintu. Matanya memancarkan sorot ketakutan.
"Ada apa Nak? Ada apa?"
Perempuan kecil itu tidak menjawab. Ia menundukkan kepala ke lantai, mengempitnya rapat-rapat dengan kedua kakinya. Sulepret mendekati dan menyentuhnya. Badannya basah. Keringat bercucuran.
"Ada penjahat, Pak!"
Kegemparan masih melanda desa itu. Para warga tidak bisa tidur dengan tenang. Penjagaan di pos keamanan semakin diperketat. Aturan jam malam terus diberlakukan. Orang-orang asing yang mencurigakan ditanyai macam-macam.
Sudah satu bulan warga hidup dalam ketakutan. Desa dengan penduduk berjumlah seratus lima puluh orang itu kian hari kian berkurang penghuninya. Anak-anak satu per satu hilang entah ke mana. Semua berusia di bawah enam tahun. Belum sekolah.
Salah satu ibu pernah melapor. Matanya berkaca-kaca. Pipinya basah. Tersedu-sedu.
"Pak, anak saya Pak, anak saya...," katanya pada Sulepret. Banjir tangisnya semakin deras.
"Kenapa Bu?"